Minggu, 27 November 2011

Sabtu, 26 November 2011

Biennale Jogja XI - Bacalah!


             Kelas pengantar antropologi setiap hari Kamis adalah kelas yang bisa dibilang paling ditunggu oleh para mahasiswa antropologi, kelas yang dijoki oleh Bapak Laksono itu adalah kelas yang nge-jazz jika itu ibarat genre musik karena seperti jazz sendiri yang ringan tapi menyimpan nada-nada yang 'tidak biasa' sama seperti kelas Pak Laksono ini santai tapi serius dan berbobot. Hari ini berliau bercerita tentang terpilihnya beliau untuk menjadi juri dalam acara Biennale, keamatiran beliau yang beliau anggap amatir adalah sekedar pecinta malah menjadi ketertarikan sendiri, sehingga panitia Biennale memilih beliau menjadi juri. Beliau juga menyarankan agar kami sebagai mahasiswa budaya, segera meluncur, melihat dan berpartisipasi dalam meramaikan acara-acara di Biennale tersebut. Hanya sebagai intermezzo beliau menyarankan kami datang ke Biennale karena selain dedikasi terhadap seni dan budaya juga sebagai bentuk 'penghormatan' atas dipilihnya beliau menjadi juri. Akhirnya saya dan teman-teman saya berkunjung ke Biennale Jogja untuk pertama kalinya, ini adalah Biennale yang ke XI. Saya datang saat malam pembukaan karena kebetulan kakak tingkat saya adalah pengisi acara pembukaan Biennale di JNM. Kakak kelas tingkat saya itu adalah Lani (seorang soloist) dan Oscar (sebuah keyboard) yang tergabung dalam grup musik bernama FRAU.  

Berpose di depan Neti-Neti karya Anita Dube   

Sebagai mahasiswa antropologi tingkat satu yang sedang belajar untuk menjadi antropolog yang baik, selain rajin, banyak membaca, mengikuti seminar dan kuliah, mengunjungi pameran seni dan kebudayaan tentunya bisa menjadi sarana belajar yang baik selain beberapa hal yang disebut di atas.Photobucket
Antropolog seperti sudah dituntut untuk melatih mata mereka menjadi mata yang tidak biasa, yaitu menjadi mata yang bisa melihat hal-hal sepele yang jarang dilihat orang lain. Seperti kita ketahui, pameran seni dan kebudayaan sudah pasti selalu menyajikan karya-karya seni seniman-seniman besar dan ternama. Karya-karya seni yang ditampilkan sudah pasti estetik dan maknatif.  Tidak sedikit seniman yang selalu bermain dalam ranah kreatif, imajinatif dan penuh fantasi dalam menghasilkan suatu karya seni.
Biennale adalah acara tahunan yang berbau seni dan kebudayaan. Salah satu acara Biennale selain seminar adalah pameran seni. Beberapa karya seni  diangkat dalam pameran yang diadakan di Jogja National Museum ini, dari seni rupa, seni lukis, bahkan seni fotografi dan filmografi. Dengan mengusung tema Shadow Lines – Indonesia Meets India, para seniman dengan sukses menyajikan beberapa karya seni yang menurut saya patut diberi apresiasi lebih. Sebagai contoh Shilpa Gupta dengan Untitled ( There is No Border Here)-nya yang mengusung tema kebebasan dan tanpa marjin, menurut saya karya seni ini sangat maknatif mengingat beberapa masalah diskriminatif yang dewasa ini terjadi. Secara tersirat Shilpa mengungkapkan bahwa sebuah kebebasan (yang dilambangkan dengan bendera) justru bisa menjadi sebuah marjin dan batas-batas dalam kehidupan (masyarakat). Bendera tersebut seperti (secara tidak langsung) membuat kita terkotak-kotak dan menjadi kelompok tertentu. Selain karya Shilpa masih banyak karya-karya seniman lain yang tak kalah mengesankan. Ada film etnografi yang menceritakan India, sebuah video orang berenang dengan tali yang mengikat tubuhnya di sebuah batu dan karya seni dengan judul Bird Prayers #2 yang menceritakan bahwa sekarang religi hanyalah sebuah ‘topeng’ belaka dan sudah terkontaminasi dengan unsur yang tidak berbau religi dan maknanya yang seharusnya suci sudah tercemar. 

 Bacalah karya Titarubi

Dari beberapa karya seni yang saya sebutkan di atas, ada salah satu karya seni yang paling menarik perhatian saya. Karena saya seperti melihat yang sering kita sebut hal sepele dalam karya seni ini.  Bacalah, karya Titaribu adalah karya seni yang paling menyita perhatian saya. Selain kreatif, karya seni ini juga maknatif dan dengan baik bisa menyatukan makna ajaran agama ( Islam), pikiran manusia, dan membaca. Bacalah, dibuat secara sederhana dan cantik, di mana ribuan lembaran kertas kosong dibuat menjadi satu jilid buku yang dalam keadaan terbuka diletakan di atas meja- kursi gandeng.  Setelah saya melihat, memegang karya seni tersebut dan lalu membaca deskripsinya, mendadak saya kagum dan langsung bisa menangkap arti karya ini. Dari apa yang saya tangkap saya bisa mengerti bahwa karya ini seperti berkata tentang kemerosotan iman kita sebagai seorang muslim di mana kita percaya bahwa perintah pertama Allah kepada Rasulullah adalah iqra (bacalah). Tetapi kita sekarang malah terperosok dalam suatu pemikiran sempit yang berujung pada kemalasan, yaitu kemalasan untuk membaca. Karya ini mengatakan bahwa membaca tidak hanya sekedar melihat deretan huruf, gengsi atau menganggapnya sebagai tuntutan untuk memenuhi nilai akademis belaka. Dengan membaca, kita bisa membuka pikiran kita, memperlebar wawasan dan memperbanyak informasi. Selain beberapa fungsi nyata membaca di atas. Membaca mempunyai beberapa fungsi laten yaitu agar kita semakin berisi, semakin pintar dan dengan pintar kita bisa bijaksana. Dan fase terakhir dalam menjadi bijaksana adalah seperti ilmu padi, semakin berisi semakin menunduk. Semakin merasa pintar maka semakin merasa kosong. Secara tersirat karya ini juga mengatakan tentang konsep kosong. Di mana inti dari pengetahuan tertinggi adalah kosong. Setelah saya mencerna lebih lanjut. Selain menemukan inti bahwa dengan membaca bisa menjadi pintar, bijaksana, lalu selalu merasa kosong. Saya juga jadi mengerti bahwa semakin ‘kosong’ seseorang, layaknya sebuah wadah yang masih kosong, wadah tersebut selalu lebih mudah diisi oleh benda atau sesuatu daripada wadah yang sudah penuh, wadah yang sudah penuh bisa saja tumpah isinya atau malah pecah wadahnya. Dengan kata lain ketika kita sudah bisa membaca, pintar , bijaksana lantas selalu merasa ‘kosong’ maka dengan mudah kita bisa lebih cepat dalam menyerap ilmu-ilmu yang kita dapatkan, kita bisa berpikir lebih jernih dan dengan ringan kita bisa menangkap banyak informasi. 
Maka mulai sekarang, bacalah! Photobucket






Lomba Artikel Blog Biennale Jogja XI

Jumat, 25 November 2011

Definisi Awal Kebudayaan

            Sampai pada saat ini definisi kebudayaan yang saya tahu dan yang paling saya pahami adalah definisi kebudayaan dari Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Tetapi setelah saya membaca beberapa buku dan artikel yang berisi tentang definisi kebudayaan dari beberapa ahli antropologi yang telah melakukan penelitian dan studi tentang kebudayaan secara menyeluruh maka bermunculanlah macam-macam definisi tentang kebudayaan, contohnya Geertz secara jelas mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang disusun..dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; secara historik diwujudkan di dalam bentuk -bentuk siambolik melalui sarana di mana orang-oarang mengkomunikasikan, mengabadikannya, suatu pola makna yang ditransmisikan dan menmgembangkan pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik” lalu definisi lain tentang kebudayaan dari Edward Burnett Tylor mengartikan kebudayaan sebagai keseluruan kompleks pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat, dengan demikian menurut Tylor kebudayaan mencakup segala sesuatu yang diperoleh atau yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Baru saja beberapa definisi kebudayaan yang saya baca sudah membuat saya bingung sekaligus mengerti bahwa kebudayaan adalah hal yang mempunyai pengertian dan definisi yang tidak sederhana, dinamis dan bias. Apalagi pemikiran antropolog muda dewasa ini yang dituntut untuk berusaha mencari definisi baru tentang konsep kebudayaan dan bagaimana konsep kebudayaan itu bekerja.

Jika melihat beberapa peristiwa dalam kehidupan saya sehari-hari, mengambil contoh sederhana dalam hal gesture tubuh. Saya pribadi sejak kecil telah terbiasa entah secara langsung  atau tidak langsung ‘belajar’ dari orang tua, teman, orang lain, bahkan dari media tentang gesture tubuh sederhana ketika seseorang hendak menyatakan dirinya baik-baik saja, siap, terkendali dengan mengacungkan jempol ke atas. Saya mengenal gesture itu sebagai gesture yang mempunyai makna positif dan makna itu saya dapatkan dari proses ‘belajar’ tadi. Bagaimana saat saya tumbuh dan berkembang, saya mulai memahami makna tersebut. Gesture jempol tadi otomatis telah membudaya dalam diri saya. Berbeda dengan di Indonesia, beberapa daerah di timur tengah justru sebaliknya, mereka menganggap mengacungkan jempol adalah suatu tindakan yang bermakna kasar, negatif dan ofensif karena berhubungan dengan anus. Sementara pada zaman dahulu di Mesir mengacungkan jempol adalah symbol ancient phallic untuk virilitas maskulin. Jadi adalah suatu pantangan bagi seorang wanita untuk mengacungkan jempol  karena jempol adalah symbol kejantanan seorang pria. Dari segi spasial dan temporal kebudayaan bisa berbeda makna, walaupun dicontohkan dengan sebuah acungan jempol saja. Dengan demikian, dengan memikirkan secara sederhana sesuai dengan kemampuan pemikiran saya saat ini sebagai mahasiswa antropologi tingkat awal yang belum melakukan penelitian apapun, definisi kebudayaan adalah bahwa kebudayaan bukanlah benda mati dan statis yang jatuh begitu saja jatuh dari langit dan kita secara gamblang tanpa berpikir panjang menerimanya sebagai warisan turun temurun. Kebudayaan bukan pula sesuatu yang harus dilestarikan sebagaimana benda-benda kuno, arca, atau candi. Kebudayaan adalah dialog-dialog yang kreatif, sesuatu yang dinamis, mengalir teratur di sela-sela kreatifitas manusia dalam menjawab semua dinamika di zamannya.

Fakta kebudayaan adalah sebuah fenomena kreatifitas manusia yang menjawab semua dinamika pada zamannya adalah dewasa ini telah terjadi semacam penolakan terhadap tradisi budaya masa lalu dikarenakan karena kehidupan dan tradisi lama penuh takhayul dan kebenaran bukan berasal dari tradisi dan otoritas melainkan dari akal budi. Contohnya animisme dan dinamisme, jarang sekali orang-orang pada tahun 2011 ini menganut sistem kepercayaan tersebut. Apalagi orang zaman sekarang sudah berpikir lebih rasional sehingga semakin tidak mempercayai sistem kepercayaan itu. Faktor pendidikan, pergaulan sosialisasi dan komunikasi membuat orang berpikir lebih kreatif dan dinamis. Contoh lain adalah fenomena budaya instan yang kerap terjadi baru-baru ini orang lebih suka untuk membuat sesuatu yang lebih manusiawi dan cenderung sederhana. Orang menjadi kurang ekspresif dan aktif. Semua bisa dilakukan secara instan. Contoh pada era Si Doel Anak Sekolahan para sarjana yang mencari kerja  selali dengan busana yang sangat rapi dan necis, oleh karena itu mereka menggunakan dasi yang dibentuk serapi mungkin secara manual dengan simpul-simpul tertentu dan sangat berseni. Tapi zaman sekarang banyak sekali dijual di mall-mall dasi yang langsung ‘jadi’ yang hanya dengan mengalungkannya sudah terpasang rapi di leher kita. Itulah bukti bahwa kebudayaan bukanlah sebuah warisan saja tetapi juga hasil dari berpikir kreatif dan berkembang. Di saat semua orang dituntut untuk serba cepat dan ‘in time’ bukan lagi on time, maka di area inilah kebudayaan itu ikut berkembang. Konstruktivisme telah terjadi di sana-sini. Beberapa fakta di ataslah yang membuat saya berasumsi bahwa kebudayaan adalah bukan suatu yang statis dan secara langsung kita terima tapi kebudayaan adalah dialog-dialog yang kreatif, sesuatu yang dinamis, mengalir teratur di sela-sela kreatifitas manusia dalam menjawab semua dinamika di zamannya.

Sebagai mahasiswa antropologi dalam mempelajari antropologi saya berharap saya suatu saat nanti dapat memahami makna, arti, definisi kebudayaan yang benar-benar esensial dan orisinal. Untuk mencapai esensi itu sebagai antropolog sejati pada dasarnya dan sudah seharusnya kita melakukan banyak perjalanan penelitian karena dengan itu kita bisa memahami sebuah arti kebudayaan. Semakin banyak kita bertemu dan mempelajari liyan maka semakin baik kita merefleksikan itu kepada kehidupan kita.

Artikel oleh : Mas Agung Wilis Yudha Baskoro
Foto : Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; D. Gutomo

Selasa, 22 November 2011

Kami Angkatan yang Bahagia








 

Cuma sekedar foto-foto belaka dan memamerkan kegantengan dan kecantikan kami mahasiswa antropologi budaya 2011 Photobucket

Mencari Ilham


  Dalam diam mencari ilham
sssstt
Yang berdesir itu angin
Dan adrenalin
sssstt
Yang mengalir itu air
Dan darahku
sssstt
Yang bergejolak itu ombak
Dan jiwaku
sssstt
Yang menari itu daun
Teringat indahmu dibalik gaun
Dalam diam mencari ilham
Diam dan mencari
Mencari dan bertemu
Sederhana namun semu

Selasa, 15 November 2011

Minggu, 06 November 2011

Waktu Kenia Tambah Tua



Sebelum pulang ke Kebumen, malamnya ada acara perayaan jadi tuanya si Kenia di angkringan depan Niaga.
Selain membahagiakan buat yang berbahagia, juga membahagiakan buat teman-teman, benar-benar sebuah keluarga BARU!

Sabtu, 05 November 2011

Genjik Dan Rengit

Saya dan kawan-kawan berencana akan membuat semacam cerita pendek entah dalam bentuk komik komedi 4 panel, sketsa film atau apapun. Pada intinya kami akan menceritakan tentang petualangan G&R bukan Gun & Roses tapi Genjik & Rengit~ 


Berikut inilah korban kekhilafan kami. Muka yang (masih) bahagia.
Nantikan kisahnya!

Cigarette


"A cigarette is the perfect type of a perfect pleasure. It is exquisite, and it leaves one unsatisfied. What more can one want?”

Dont be Tipis









Setelah teman saya Dimas Fajrul "Tengu" Falah sukses mendapatkan sebut saja upah dari kerja keras atas proyeknya. Saya dan teman-temannya selayaknya keluarga, ditrakti makan. Inilah beberapa fotonya.