Jumat, 10 Januari 2014

Pentas Seni Kerakyatan - Jogja Sebuah Ruang Publik Tradisional


Secara denotasi foto ini dapat dibicarakan sesuai dengan apa yang terlihat secara kasat mata yaitu satu buah foto pentas kuda lumping versi anak-anak atau jaranan yang ditonton oleh banyak warga kampung. Foto ini diambil di desa Sidoakur, Godean, Yogyakarta. Tetapi secara konotasi, foto ini dapat dibicarakan dengan lebih “melampaui” apa yang ada dalam foto. Yang dimaksud dengan “melampaui” adalah foto ini dapat dibicarakan melintasi ruang dan waktu. Ruang dan waktu adalah suatu kesatuan. Ruang dan waktu bukan sebuah organisasi maupun perkumpulan eksklusif. Ruang adalah kehidupan, sebuah interaksi sosial yang terjadi dalam satu aliran waktu. Ruang adalah sebuah bentuk komunikasi dalam suatu atmosfer sosial tertentu. Ruang berbeda dengan tempat. Ruang adalah sesuatu yang hadir dalam waktu yang memberikan fasilitas untuk menyuarakan hati dan pikiran.
Mengingat ruang di Jogja, ruang di Jogja dibentuk oleh filosofi-filosofi kehidupan Jawa yang agung. “Rukun agawe santosa” adalah pepatah jawa yang berarti jika hidup rukun pasti akan sejahtera. Tata, titi, tentrem, kartaraharja adalah cita-cita hidup orang Jawa. Pada Serat Widatama, Panembahan Senopati mengatakan bahwa Jawa adalah tatanan yang saling mengenakan hati dan meluhurkan. Dasar-dasar hidup itulah yang dijunjung oleh orang Jogja sebagai orang Jawa. Tetapi harus kembali diingat bahwa unsur terpenting untuk berlangsungnya itu semua adalah buwana/bumi dan tanah atau ruang itu sendiri. Melihat fakta dewasa ini banyak tanah-tanah di Jogja sudah dijadikan dagangan. Maka jika tidak ada tanah, tidak ada kampung maka di mana semua itu dapat berlangsung? Bagaimana orang Jogja bisa berkehidupan, berkesenian dan berkerbudayaan jika ruang-ruang itu sudah “laku”?
Ruang di Jogja adalah kampung. Kampung adalah komunitas yang lebih kecil dari desa tetapi mempunyai organisasi untuk dapat hidup di suatu tempat. Jogja adalah kampung yang mengalami kepadatan sosial dan kultural. Jogja memang tidak di desain untuk menjadi kota. Berbeda dengan Eropa yang sudah “city by design”. Bisa dilihat ke belakang ketika Belanda datang melakukan ekspansi ke daerah-daerah di pulau Jawa. Ekspansi yang dilakukan Belanda tetap tidak membuat Jogja kehilangan ruang. Beberapa daerah memang diposisikan sebagai pemukiman, perdagangan maupun ruang-ruang publik. Sehingga keseimbangan sosio-kultural pada masyarakat tetap terjaga. Pada konteks ini Belanda sangat pandai dalam ber-socialengenering karena orientasi pembangunannya tidak semata-mata berorientasi pada pasar. Tidak menutup mata dengan melihat fenomena sosial yang terjadi bisa dikatakan bahwa orientasi pembangunan Jogja sekarang sangat tidak berorientasi pada sosio-kultural masyarakatnya. Jogja sedang mencari jati diri. Mau tetap menjadi kampung atau menjadi kota.
Disposisi ruang di Jawa berawal pada zaman Orde Baru, tatkala Pak Harto masih berkuasa, semangat memajukan masyarakat desa luar biasa besarnya. Salah satu cara untuk mendorong laju pertumbuhan desa, di antaranya ditempuh melalui lomba desa. Beberapa desa dilombakan. Misalnya, lomba antar desa di tingkat kecamatan. Pemenangnya akan dilombakan pada tingkat kabupaten. Seterusnya, pemenang tingkat kabupaten akan diadu dengan pemenang kabupaten se provinsi, dan akhirnya pemenang pada tingkat provinsi ini akan diajukan pada lomba tingkat nasional, mewakili propinsi masing-masing. Akhirnya pemenang lomba tingkat provinsi itu akan memperebutkan juara nasional. Diadakannya lomba ini ternyata memberikan dampak yang luar biasa bagi kebudayaan masyarakat Jogja. Disposisi ruang privat dan komunal di Jogja pun mulai terlihat. Lomba desa mengakibatkan munculnya pagar-pagar yang memberi batas jelas antar pekarangan. Sejak saat ini pemahaman masyarakat akan pentingnya ruang bagi kehidupan terlupakan. Batas antara ruang privat dan ruang publik menjadi rancu.
Melalui foto bisa direfleksikan bahwa ruang di Jogja mulai menyempit. Ada realitas lain di Jogja yang tidak tertangkap pada foto ini yang menjelaskan bahwa Jogja memang telah kehilangan banyak ruang publik. Lahan lebih banyak digunakan untuk pertokoan dan tempat parkir. Foto tersebut bisa ikut berbicara tentang hilangnya ruang-ruang di Jogjakarta. Café, mall dan tempat-tempat lain juga bisa dikatakan sebagai ruang publik tetapi bukan ruang publik seperti ini yang dibutuhkan oleh Jogja. Jogja bisa kehilangan jogjanya jika ruang “asli” di jogja telah hilang. Ruang publik café, malla dll itu tidak sepenuhnya menjadi ruang yang benar-benar publik. Artinya ruang publik ini syarat kepentingan pasar. Pembangunan banyak mall di Jogja adalah hasrat bisnis musiman yang merupakan tanggapan pebisnis-pebisnis akan potensi pasar di Jogja. Jogja membutuhkan ruang tradisional. Jogja membutuhkan ruang kampungnya kembali. Tradisi kesenian tradisional harus kembali di bangun. Kotor, ndesa dan tawar-menawar yang terjadi pada kesenian tradisional itulah interaksi dalam ruang yang sangat-sangat agung, luhur dan tak ternilai harganya.
Mari bercermin melalui foto. Jogja yang dibicarakan dalam foto adalah Jogja yang menurut beberapa orang sebagai Jogja yang sangat Jogja. Beberapa anak kecil yang sedang melakukan pentas seni tradisional kuda lumping atau jaranan yang sedang ditonton oleh banyak warga di desanya. Anak-anak sampai orang tua turut datang menonton pentas seni tradisional ini. Kehidupan berkesenian, menunjukkan kerukunan pada ruang komunal memang citra yang sangat melekat pada Jogja. Citra Jogja ini juga melekat pada citra Jawa. Jadi bicara Jogja juga kurang lebih berarti bicara Jawa begitu juga sebaliknya. Nilai hidup sejati bagi orang Jawa adalah keselarasan. Keselarasan dibentuk oleh tiga hal yaitu harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan, alam dan masyarakat. Hubungan antara manusia dengan Tuhan dibina melalui ibadah-ibadah yang dilakukan sesuai dengan kepercayaan dan penghayatan masing-masing. Memanfaatkan dan menjaga lingkungan dengan baik dan bijak adalah cara untuk menjaga hubungan antara manusia dengan alam.
Pepatah Jawa, “Hamemayu hayuning buwana” adalah membuat cantik yang sudah cantik dalam konteks alam dan lingkungan itu berarti merawat, menjaga, memanfaatkan alam dan lingkungan supaya semakin indah dan lestari bukan justru merusaknya.. Sementara hubungan antara manusia dengan manusia atau masyarakat dibina dengan menghindari konfllik terbuka dan menguasai emosi. Ruang publik tradisional pada masyarakat Jawa adalah sarana pengajaran pengendalian emosi yang sangat baik.
Bagi orang Jawa, emosi adalah seni hidup sekaligus indikator kedewasaan di mana emosi tidak diizinkan untuk melampaui tingkat tertentu. Contohnya tercermin dalam cara berbahasa orang Jawa. Inggih bagi orang Jawa mempunyai dua arti, bisa berarti “iya yang sesungguhnya” atau “iya dalam rangka menghindari konflik atas azaz menghormati perintah, tanggapan atau ide”. Sungkan yang ditunjukkan bukan untuk mempersulit komunikasi. Orang Jawa mempunyai cara-cara tersendiri untuk mengatasi sungkan tapi bukan cara yang menyinggung. Dalam konteks ini “Inggih” adalah cerminan emosi orang jawa yang kuat tapi tidak diizinkan berlebihan. Harmonisasi ketiga unsur tersebut akan menimbulkan keseimbangan jiwa yang menyebabkan ketentraman batin pada diri. Orang Jawa mempunyai anggapan bahwa ketentraman batin merupakan esensi kehidupan itu sendiri.
Masyarakat tanpa ruang publik adalah masyarakat yang sakit. Ketika Jogja mulai banyak kehilangan ruang publiknya itu artinya Jogja sedang menuju sakit. Ruang publik adalah wahana pengajaran yang sangat pas. Berpegang pada nilai membuat ruang publik tradisional hadir sebagai penjaga kelestarian kebudayaan dan penyelaras kehidupan. Sebelum saya meninggalkan lokasi pentas seni ini, saya tidak sengaja mendengar sedikit percakapan dua orang tua yang berada tidak jauh dari tempat saya berdiri. Mereka berkata, “apik yo, nek ngene iki Yojo ne urip meneh”. Dalam hati saya bertanya, “apakah bagi mereka Yojo itu telah mati?” 



Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.
Ajidarma, S.G. 2002. Kisah Mata: Perbincangan tentang Ada. Yogyakarta: Galang Press.
Appadurai, Arjun. 1986. The Social Life of Things: Commodities in Cultural Perspectives. Cambridge: Cambridge University Press.
Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Bartes, Roland. 1980. Camera Lucida: Reflection on Photography. New York: Hill and Wang
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual : Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra
Foucault, Michel. 1997. Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
F.P, Marchella. 2013. Generasi 90’an. Jakarta: POP.
Idi Subandy Ibrahim, ed. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra
Laksono, P.M. 2009. Spektrum Budaya (Kita). Yogyakarta: KEPEL PRESS.
Laksono, P.M dkk. 2000. Permainan Tafsir: Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: INSIST PRESS.
Schilling, R. 1993. The Body and Social Theory. London: SAGE Publication.
Synnott, Anthony. 2003. Tubuh Sosial. Yogyakarta: Jalasutra
Tambayong, Yapi. 2012. 123 Ayat Tentang Seni. Bandung: Nuansa Cendekia.
Suryakusuma, Julia. 2013. Julia’s Jihad: Tales of The Politically, Sexually and Religiously Incorrect, Living in The Chaos of The Biggest Muslim Democracy. Jakarta: Komunitas Bambu.
Tejo, Sujiwo. 2013. Dalang Galau Ngetwit. Jakarta: Imania.
Saifudin, Achmad Fedyani. 2011. Catatan Reflektif : Antropologi Sosial Budaya. Institut Antropologi Indonesia. Jakarta: Institut Antropologi Indonesia.
Wattie, A.M., Mundayat, A.A., Triratnawati, A., Poerwanto, H., Ahimsa-Putra, H.S., Laksono, P.M., Simatupang, L.L., Mulyadi., Kasniyah, N., Kutanegara, P.M., Semedi, P., Setiadi., Sairin, S., Gandarsih, T. 2006. Esei-Esei Antropologi – Teori, Metodelogi dan Etnografi. Yogyakarta : Kepel Press.
Yuliadi, Gunawan. 2005. Persepsi Pemakai Jalan Tentang Iklan di Jalan Raya Kota Jogjakarta. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
 


Gatotkaca Gantung - Kebudayaan Sudah Kehilangan Daya


Foto ini diambil pada acara peletakan batu bata pertama pada rangkaian acara proyek pembangunan gedung hotel Mataram City di Jalan Tentara Pelajar Yogyakarta. Acara yang dihadiri beberapa pejabat penting di Jogja yang tergabung dalam proyek pembangunan hotel-hotel baru di Jogja ini berlangsung sangat meriah karena selain peletakan batu bata pertama beberapa acara pendukung seperti memecahkan rekor muri dengan memanjat gedung hotel setengah jadi ini dan lomba foto model di area sekitar pembangunan gedung. Lalu yang menjadi acara puncak adalah pentas seni sendratari dengan lakon Gatotkaca Gandrung.
Pada foto tampak dengan jelas sang lakon Gatotkaca yang sedang gandrung hendak mendarat dari terbangnya. Gatotkaca selalu digambarkan sebagai sosok yang gagah perkasa. Kuat, otot kawat balung wesi. Tetapi yang sebenarnya patut dilihat adalah Gatotkaca tersebut sedang digantung. Jadi ranah denotasi menjadi layak dikonotasikan. Gatotkaca tersebut adalah sosok yang lemah dan tidak berdaya. Mengapa? Karena ia tidak sepenuhnya digambarkan sebagai yang kuat karena yang menggantungnya adalah sesuatu yang menguasainya yaitu derek pembangun hotel. Hidup sang Gatotkaca sangat bergantung pada derek itu. Dapat dikatakan bahwa Gatotkaca adalah representasi Jogja yang lemah tanpa daya di hadapan kekuasaan pembangunan yang paradox. Pembangunan yang membangun sekaligus menghancurkan.
Pembangunan Jogja yang sangat kurang memperhatikan aspek sosio-kultural masyarakatnya dapat berakibat fatal. Bisa dikatakan bahwa Jogja adalah mini-Indonesia—dengan berbagai alasan kesamaan keadaan konteks kehidupan masyarakatnya yang multikultur—jadi dapat dianalogikan Jogja akan mengalami hal yang sama ketika pembangunan-pembangunan dilakukan tidak berorientasi pada konteks kehidupan kebudayaannya. Salah satu bentuk pembangunan di Indonesia yang paling terepresi pada kehidupan masyarakat saat ini salah satunya adalah nasionalisasi bahasa Indonesia. Sebagai bangsa yang telat kritis, akibat dari nasionalisasi bahasa Indonesia baru disadari beberapa tahun bekalangan ini, yaitu beberapa bahasa lokal mulai kehilangan penuturnya. Dalam konteks Jogja dapat disinyalir juga mempunyai implikasi yang sama dengan itu. Ketika pembangunan dilakukan dengan mengusung isu-isu modernisasi, meng-kota-kan Jogja, me-metropolis-kan Jogja maka dampak negatif yang mungkin muncul adalah Jogja kehilangan ketradisionalannya. Aspek-aspek tradisional yang memungkinkan untuk hilang adalah kebudayaan gotong royong yang komunal, kerukunan-kerukunan masyarakatnya, pasar-pasar dan kesenian tradisionalnya.
Orang-orang yang datang pada acara itu beberapa sibuk memotret mendokumentasikan pentas seni sendratari ini, beberapa memotret peristiwa-peristiwa lain seperti pengunjung atau kerumunan-kerumunan yang menyaksikan acara ini, beberapa ada yang berbincang-bincang akan seperti apa bentuk gedung ini. Tapi sangat sedikit orang—yang saya temui—yang mengungkapkan kekhawatirannya terhadap Jogja. Foto memang tidak bisa mengungkapkan isi hati manusia-manusia yang terfiksasikan di dalamnya tapi sebagai operator saya merasa bisa mengungkap apa yang sudah ada dan belum terungkap yang dikombinasikan dengan pengalaman ber’ada’ di lokasi saat itu. Tidak ada yang sadar bahwa digantungnya sang Gatotkaca adalah penggambaran kalahnya kebudayaan kita dengan rezim pembangunan Jogja. Inilah tanda-tanda kondisi di mana ruang-ruang kebudayaan di Jogja mulai mudah disingkirkan.


Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.
Ajidarma, S.G. 2002. Kisah Mata: Perbincangan tentang Ada. Yogyakarta: Galang Press.
Appadurai, Arjun. 1986. The Social Life of Things: Commodities in Cultural Perspectives. Cambridge: Cambridge University Press.
Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Bartes, Roland. 1980. Camera Lucida: Reflection on Photography. New York: Hill and Wang
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual : Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra
Foucault, Michel. 1997. Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
F.P, Marchella. 2013. Generasi 90’an. Jakarta: POP.
Idi Subandy Ibrahim, ed. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra
Laksono, P.M. 2009. Spektrum Budaya (Kita). Yogyakarta: KEPEL PRESS.
Laksono, P.M dkk. 2000. Permainan Tafsir: Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: INSIST PRESS.
Schilling, R. 1993. The Body and Social Theory. London: SAGE Publication.
Synnott, Anthony. 2003. Tubuh Sosial. Yogyakarta: Jalasutra
Tambayong, Yapi. 2012. 123 Ayat Tentang Seni. Bandung: Nuansa Cendekia.
Suryakusuma, Julia. 2013. Julia’s Jihad: Tales of The Politically, Sexually and Religiously Incorrect, Living in The Chaos of The Biggest Muslim Democracy. Jakarta: Komunitas Bambu.
Tejo, Sujiwo. 2013. Dalang Galau Ngetwit. Jakarta: Imania.
Saifudin, Achmad Fedyani. 2011. Catatan Reflektif : Antropologi Sosial Budaya. Institut Antropologi Indonesia. Jakarta: Institut Antropologi Indonesia.
Wattie, A.M., Mundayat, A.A., Triratnawati, A., Poerwanto, H., Ahimsa-Putra, H.S., Laksono, P.M., Simatupang, L.L., Mulyadi., Kasniyah, N., Kutanegara, P.M., Semedi, P., Setiadi., Sairin, S., Gandarsih, T. 2006. Esei-Esei Antropologi – Teori, Metodelogi dan Etnografi. Yogyakarta : Kepel Press.
Yuliadi, Gunawan. 2005. Persepsi Pemakai Jalan Tentang Iklan di Jalan Raya Kota Jogjakarta. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.




Beretnofotografi


Etnofotografi adalah mempelajari kebudayaan melalui fotografi sebagai citra visual. Citra visual menghadirkan properti-properti kebudayaan. Kehadiran properti-properti tersebut memudahkan kita untuk “melihat” atau mengaktualisasi kebudayaan. Kebudayaan pada dasarnya adalah mengenai identitas. Identitas dibangun melalui citra-citra visual. Jadi etnofotografi adalah dialektika visual dan unsur-unsur lain dalam identitas
Situasi dialektik memungkinkan kita untuk menjadikan visual menjadi teks atau dengan kata lain membaca citra visual. Melalui etnofotografi, foto, gambar dan teks saling berdialektika.
Suatu citra visual dapat menimbulkan signifikasi atau pemaknaan. Makna-makna yang muncul sebenarnya tidak berasal dari foto atau gambar itu sendiri tetapi muncul pada otak atau imajinasi orang yang melihat foto. Beretnofotografi memposisikan fotografi bukan hanya sebagai rekaman peristiwa tapi sebagai citra tanpa kata di mana sebuah foto bukan bukti realita tapi realita baru.
Realita baru yang “dibaca” dalam foto merupakan sebuah “permainan tafsir” yang rasional dan masuk akal karena dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang reflektif karena pengalaman bukan suatu yang terisolasi. Pengalaman tidak tersusun oleh kesendirian tetapi dari relasi-relasi dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya. Pembacaan ini bukanlah untuk menduplikasi citra melainkan untuk mengeksplisitkan atau menegaskan seperangkat konotasi dalam citra (foto) yang sebelumnya sudah ada (implisit). Etnofotografi belajar tentang proses reflektif dari sebuah foto atau gambar yang kita lihat. Melihat foto bukan melalui “kamar gelap” (camera obscura) tapi melalui “kamar terang” (camera lucida). Melihat foto adalah proses menghubungkan pengalaman dengan akal yang kemudian direfleksikan karena menemukan diri sendiri di dalam foto atau dengan kata lain menjadikan fotografi sebagai cermin.


           Roland Barthes memberikan beberapa istilah untuk etnofotografi dalam bukunya yang berjudul Camera Lucida. Istilah-istilah itu di antaranya, operator adalah orang yang memotret atau fotografer, spectrum adalah satu frame foto, yang dihadapkan oleh operator, stadium adalah gambar rata-rata atau keseluruhan, punctum adalah detail dari suatu foto, diibaratkan punctum seperti suatu yang lari menusuk perasaan kita dan yang terakhir adalah spectator yaitu penonton foto.
Punctum mempunyai kekuatan yang besar sehingga mengalahkan gambar rata-rata. Antropolog mempunyai kewajiban untuk setia pada detail. Argumentasi yang dibangun berdasarkan atas detail bukan pada suatu pernyataan pukul rata. Detail dengan detail yang berelasi itu tidak dilihat denotasinya tapi dimitoskan atau dibicarakan konotasinya.


           
Gambar 1 Musisi Jazz dari Swiss dan Jepang hadir di Tumpengan Pra-Acara Ngayogjazz 2013 di rumah Limasan, Desa Wisata Sidoakur, Yogyakarta .
               
Secara sederhana dalam beretnografi cara membaca foto seorang etnofotografer berbeda dengan jurnalis maupun fotografer. Jurnalis biasanya hanya membaca sebuah foto lewat studiumnya saja (gambar rata-rata). Caption yang diberikan adalah caption dari sudut pandang jurnalistik. Lalu fotografer biasanya hanya membaca foto lewat teknis-teknis pengambilan gambar dll. Tetapi seorang etnofotografer membaca sebuah foto dengan melakukan pemaknaan antara—dialektika—studium (gambar rata-rata) dengan punctum (gambar detail yang menusuk hati). Cara paling mudah untuk melihat punctum adalah setelah melihat sebuah foto dengan seksama, lalu pejamkan mata. Ketika memejamkan mata bagian paling diingat oleh otak secara otomatis akan muncul. Itulah punctumnya.



Gambar 2  Cara Melihat Foto Menurut Roland Barthes (punctum setiap orang bisa berbeda-beda)



Punctum yang terlihat digunakan untuk menyusun argumentasi. Argumentasi yang disusun berdasarkan interaksi—dialektika—antara punctum dan stadium. Dialektika ini bekerja untuk memperluas “perbincangan”. Argumentasi yang tersusun pada foto pada gambar 1, secara “etnofografi” dapat diperbincangkan sampai ke ranah yang  melampaui yang tampak dalam gambar. Ranah yang dapat dilampaui  adalah etnik, agama, gender, golongan, lokalitas, pariwisata, glokalisasi, gotong royong, keikhlasan, kerukunan sampai ke filosofi tumpengan dll. Pada akhirnya argumentasi yang tersusun digunakan untuk membuat benang merah bukan untuk membuat klaim.
Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa pemaknaan atau suatu tafsir bisa keliru? Atau berbeda? Hal seperti ini terjadi karena operator sebagai fotografer bekerja memotong peristiwa (melakukan fiksasi). Oleh karena itu foto terpenggal dan menjadi bagian yang tidak utuh. Foto lebih banyak menyembunyikan daripada memperlihatkan. Foto merekam banyak tapi juga memotong banyak itulah ironi dan paradox dalam fotografi  Spectator sebagai penafsir foto menghadapi kondisi dan jebakan-jebakan semacam ini. Oleh karena itu makna, tafsir dan pesan yang disampaikan tentang sesuatu harus benar-benar dipilah dan diolah dengan sangat baik dan teliti. 

Daftar Pustaka
Ajidarma, Seno Gumira. 2005. Kisah Mata. Jakarta: Galang Press.
            Barthes, Roland. 1981. Camera Lucida: Reflections on Photography. France: Hill and Wang.
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual : Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Pink, Sarah. 2007. Doing Visual Ethnography. London: Sage Publication Ltd.

(tulisan pernah dimuat di http://antropologivisual.wordpress.com/2013/12/05/beretnofotografi/)
           

Kamis, 09 Januari 2014