“Koe wis niliki pengumuman SNMPTN during Cut?”, kata temanku tiba-tiba. “Ah, gah niliki, santai wae”, jawabku santai. Hari itu adalah hari pengumuman SNMPTN dan entah mengapa aku malas untuk melihat hasil pengumumannya, bukan karena deg-deg’an atau takut kalian kira aku remaja labil. Tapi aku memang benar-benar malas. Aku sebelumnya sudah diterima di UI dan beberapa PTS, jadi rasanya otak ini sudah bebal dengan soal, rumus, angka dan pertanyaan-pertanyaan. Tapi kata orang, otakku memang sudah bebal sejak awal.
Bukan salah ibu mengandung tapi salah bapak buka sarung, nama akta kelahiranku Gregorius Dhamang Gutomo, aku biasa dipanggil Dhamang dalam keadaan normal atau Cucut jika sedang dalam keadaan yang lebih absurd. Statusku sebagai anak kandung kedua orang tuaku saja aku kadang masih ragu, apalagi tentang orientasi seksual dan jenis kelaminku, aku sungguh-sungguh masih dilema. Stop, aku hanya bercanda. Perlu kalian ketahui aku hidup dan dibesarkan dengan gagal di kota Ungaran dalam sebuah keluarga kecil yang bahagia.
Dunia memang tidak adil bagiku. SNMPTN adalah hakim yang paling tidak adil. Aku berhasil mematahkan mitos tentangnya yang dianggap susah untuk ditembus. Apalagi oleh orang-orang remaja tanggung sepertiku yang semasa SMA mendapat kelas di kantin. Dengan bermodalkan nyawa, aku berangkat ke lokasi penghakiman (lokasi SNMPTN) di UNDIP. Aku tengok kanan-kiri, tidak ada satu orangpun yang kukenal. Aku menyisir sepanjang mataku memandang : ada yang sedang ngobrol dengan temannya, ada yang sedang sarapan, baca buku, menghitung soal matematika, berdiri tidak tenang, ngacak-ngacak rambut, mandi, keramas, pakai shampoo dengan bahagia, salto-salto, roll depan, sikap lilin. Stop. SNMPTN atau Senam. Di Senam enggak pakai keramas kali. Sudahku bilang tadi. Aku memang sudah bebal sejak awal.
Masuk ruangan SNMPTN, oh begitu sepi! Jangkrik pun berhenti berbunyi! Aku tak tahu di mana harus berhenti! Stop, aku sedang akan ujian. Aku duduk dan saat itu juga aku sadar bahwa dengan sadar aku memang sengaja tidak membawa amunisi untuk ujian. Akhirnya teman yang belum dikenal di kanan-kiri pun menjadi korbanku : Pertama. Mereka dituntut untuk bertatap muka denganku. Kedua. Mereka aku paksa untuk MAU kenal denganku. Ketiga. Mereka aku rayu lebih tepatnya palak pensil dan penghapusnya. Aku terlihat seperti SPG Oriflame yang sedang merayu calon pelanggannya, tapi dengan versi yang lebih cacat. Alkisah aku berhasil menyelesaikan soal SNMPTN.
Aku keluar ruang ujian dengan santai. Pulang ke rumah. Melewati hari-hari berikutnya dengan nongkrong, keluyuran dan bercanda dengan teman-temanku. Sampai pada hari pengumuman itu. Karenal malas tadi itu, aku menyuruh temanku untuk membuka hasil SNMPTNku. Lalu dia mengirim sms padaku, bunyinya : “Cut, delok’en FBmu”. Dengan sigap aku membuka Facebookku, jejaring sosial legendaris itu menunjukan beberapa notifikasi. Ternyata temanku itu mempostingkan hasil SNMPTN di Facebook. Sungguh sangat frontal. Mereka mengumpat dan mengutukku, bagaimana bisa aku diterima di salah satu kampus bergengsi yang notabene adalah kampus tempat bernaung para cendekiawan muda di Indonesia. Kampus khilaf yang menjadikanku mahasiswanya itu adalah, adalah, adalah!!! (horror backsound). UGM. Universitas Gadjah Mada. Dan jurusan naas yang menerimaku adalah Antropologi Budaya. Di jurusan ini juga ternyata aku bertemu dengan temanku yang menulis cerita tentangku ini. Terselip penyesalan mendalam dibalik rasa syukur! Tapi tak apa, tetap aku ucapkan, terimakasih semesta. “Terimakasih Tuhan”, adalah kata pertama yang aku ucapkan setelah tahu aku diterima di UGM. Tapi rasa syukur terjadi cuma sementara sampai aku datang ke ATM Mandiri dan mengecek biaya yang harus dibayarkan, rasa syukur itu buyar seketika. Dua belas juta rupiah bukan jumlah uang yang mudah di dapat. Babi ngepet pun butuh satu minggu untuk dapat 12 juta. Dasar Universitas Gede Mbayare. Untungnya urusan administrasi bagi orang tuaku saat ini masih bukan persoalan.
PPSMB pun tiba. Aku sama sekali tidak mengenal satupun teman atau dengan kata lain calon (naas) temanku di Antropologi. Semuanya aku masih buta. Tapi Tuhan memang adil. Jika aku dikaruniai keadaan (fisik dan volume otak yang tak layak) seperti ini pasti aku diberi keberuntungan lain. Hari pertama sepulang PPSMB aku berjalan ke depan gerbang Fakultas Ilmu Budaya. Aku melihat sesosok perempuan berbaju putih! Bulu kudukku rontok! Bukan berdiri lagi! Aku cek punggungnya, oh aman, tidak bolong. Tapi terlalu gempal untuk ukuran kuntilanak. Aku dekati. Semakin dekat. Betapa terkejutnya aku. Itu Icha. Pacarku! Ternyata dia diterima di Sastra Inggris UGM. Satu fakultas denganku. Aku belum mengetahui itu sebelumnya. “Untuk kejutan”, katanya. Aku bersyukur. Paling tidak ada kekasih yang menemani di dalam hidupku yang baru ini. Sejak malam itu, aku benar-benar bisa merasakan secara nyata deskripsi magis lagu Yogyakarta-nya Kla Project.
Beberapa hari setelah itu. Aku (yang beruntung ini) telah diperkenalkan dengan beberapa teman-teman dari Antropologi Budaya. Ternyata mereka adalah teman-teman yang mengasyikan, lucu, bertalenta dan nakal. Nakal yang positif. Aku sebagai pendatang jadi merasa nyaman untuk kuliah dan bergaul di lingkungan kampus. Teman-temanku itu membuatku merasa jadi bagian yang penting dari mereka. Jika aku memperkenalkan diri atau bertingkah sesuatu(biasanya dengan gaya yang cacat), tidak tahu mengapa mereka tertawa. Entah karena belas kasihan atau memang karena lucu. Setelah aku masuk UGM, bertemu teman-teman yang abnormal, kuliah dan melihat UGM dari dekat ternyata UGM memang tak seperti yang dibayangkan. Bayangan orang-orang tentangnya itu terlalu berlebih-lebihan. UGM Cuma kampus yang biasa-biasa saja. Mungkin yang membuatnya tak biasa hanya tua, bersejarah dan berkarisma. Karisma yang terus diumbar sampai suatu saat akan habis sendiri.
Dari semua yang aku ceritakan, sebenarnya aku cuma ingin mengatakan beberapa patah kata saat temanku bertanya dan mulai mengetik untuk ceritaku ini. “Mang, gimana kesanmu masuk UGM? Accidentally? Atau emang pilihan?” Tanyanya. Aku menunduk, mendangakkan kepalaku lalu aku melihatnya dengan serius dan menjawab. “Accidentally in LOVE”.
Dalam rangka mengerjakan tugas Dian Budaya. Di dedikasikan untuk (anggap saja) teman kita semua. Dhamang Gutomo