Aku cuma bisa memberi bunga matahari untuk kamu yang telah menjadi matahari |
Kamis, 18 Juli 2013
Rabu, 17 Juli 2013
Rabu, 10 Juli 2013
Padamu Aku Tak Menemukan Cela
Yang membelah pikiranku adalah hal yang sangat sederhana yaitu potret
gadis bertopi panda. Yang aku tahu itu kamu. Yang aku tahu aku rindu. Mataku melihat suara, telingaku mendengar warna, lidahku merasa sutra, mulutku mengucap wangi, kulitku meraba rasa. Ketika kamu mulai menggemaskan dan jarak membuatku tak bisa apa-apa. Utopia dan doa hadir sebagai jalan keluar satu-satunya.
Saat senja mulai memudar digantikan bulan-bulan oranye, aku bercerita tentang kenyataan yang aku anggap kamu pantas tahu. Sebelumnya kamu bilang, beda dengan imajinasi sebab pada kenyataan kita butuh warna-warna vivid karena itu kejelasan. Setelah itu bulan-bulan oranye jadi saksi saat nyata-nyata kita berpelukan dalam imajinasi berdua dalam bahasa yang hanya milik kita.
Selain itu saksi bisunya lampu taman atau lampu kota yg sendirian itu. Dia melihat kami dengan iri. Dia mencibir."Aku ingin seperti mereka, berbicara makna dan menjadikanku bagian romantisnya". Cibirnya dengan dengki. Lampu itu masih merasa alfa. Lalu lalang itu tidak membuatnya ingin berpaling dari kami. Akupun hanya meliriknya. Dalam dengkinya ternyata ada doa. Dia berbisik doa dalam cibirannya. "Ah tiada guna aku iri. Smoga mereka selalu begitu dan lampu sepertiku tetap menjadi romantis untuk mereka".
Malam datang. Aku memutuskan untuk tidur. Tugasku belum sepenuhnya slesai. Sambil berbaring aku membaca ulang semua pesan singkat darimu. Kamu itu kesayangan. Otakku menciptakan aromamu. Beberapa jam lalu, kita berada dlm imaji yg satu. Merasakan kualitas waktu dalam utopia yang tak satu orangpun tahu. Seperti aku katakan padamu dek, bersamamu aku selalu menemukan jalan. Siapa org yg tak tahu jalan ke rumahnya sendiri? Dia linglung itu kecuali. Ah, sejak kamu di sini, aku tak linglung lagi. Matamu bulat. Ada senja semburat. Lalu hilang beban berat.
Pagi ini aku rindu berat karena tak bisa lewat surat, maka berdoa ku hadap kiblat. Teringat sajak Kangen karya Rendra, katanya, "Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan. Engkau telah menjadi racun bagi darahku. Apabila aku dalam kangen dan sepi itulah berarti aku tungku tanpa api". Aku tidak memberimu janji. Aku enggan berjanji. Tapi kau akan aku perjuangkan. Mengapa aku akan perjuangkan kau sampai nanti habis waktuku? Karena kau memelukku tanpa pelukan. Rasa yang biasanya hanya ada dalam roman. Akupun bertambah yakin. Tak ada yang mampu membunuh yang bertekad.
Saat senja mulai memudar digantikan bulan-bulan oranye, aku bercerita tentang kenyataan yang aku anggap kamu pantas tahu. Sebelumnya kamu bilang, beda dengan imajinasi sebab pada kenyataan kita butuh warna-warna vivid karena itu kejelasan. Setelah itu bulan-bulan oranye jadi saksi saat nyata-nyata kita berpelukan dalam imajinasi berdua dalam bahasa yang hanya milik kita.
Selain itu saksi bisunya lampu taman atau lampu kota yg sendirian itu. Dia melihat kami dengan iri. Dia mencibir."Aku ingin seperti mereka, berbicara makna dan menjadikanku bagian romantisnya". Cibirnya dengan dengki. Lampu itu masih merasa alfa. Lalu lalang itu tidak membuatnya ingin berpaling dari kami. Akupun hanya meliriknya. Dalam dengkinya ternyata ada doa. Dia berbisik doa dalam cibirannya. "Ah tiada guna aku iri. Smoga mereka selalu begitu dan lampu sepertiku tetap menjadi romantis untuk mereka".
Malam datang. Aku memutuskan untuk tidur. Tugasku belum sepenuhnya slesai. Sambil berbaring aku membaca ulang semua pesan singkat darimu. Kamu itu kesayangan. Otakku menciptakan aromamu. Beberapa jam lalu, kita berada dlm imaji yg satu. Merasakan kualitas waktu dalam utopia yang tak satu orangpun tahu. Seperti aku katakan padamu dek, bersamamu aku selalu menemukan jalan. Siapa org yg tak tahu jalan ke rumahnya sendiri? Dia linglung itu kecuali. Ah, sejak kamu di sini, aku tak linglung lagi. Matamu bulat. Ada senja semburat. Lalu hilang beban berat.
Pagi ini aku rindu berat karena tak bisa lewat surat, maka berdoa ku hadap kiblat. Teringat sajak Kangen karya Rendra, katanya, "Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan. Engkau telah menjadi racun bagi darahku. Apabila aku dalam kangen dan sepi itulah berarti aku tungku tanpa api". Aku tidak memberimu janji. Aku enggan berjanji. Tapi kau akan aku perjuangkan. Mengapa aku akan perjuangkan kau sampai nanti habis waktuku? Karena kau memelukku tanpa pelukan. Rasa yang biasanya hanya ada dalam roman. Akupun bertambah yakin. Tak ada yang mampu membunuh yang bertekad.
Aku Tak Lagi Enggan Berpuisi
Kamu datang tepat waktu mendekap hati.
Seperti matahari terbit menghangatkan bumi.
Seperti titik turun bidadari
Aku terlalu lama sibuk sendiri.
Walau tersayat belati, rasa hati telah hilang pedih peri.
Tiba-tiba kamu datang seperti tak peduli.
Ke sebuah kantin di siang hari.
Menghampiri dalam ramai yg terasa sunyi.
Aku menikmati kamu, sudut lehermu, lengkung senyum itu dan
setiap sayu matamu dalam obrolan ku di sini tanpa tahu siapa kamu.
Lalu kamu tinggalkan aku sendiri.
Masih di kantin itu kala siang hari.
Tapi rasaku tak lagi mati.
Cinta itu bangkit lagi.
G.A.C (Gamaliel. Audrey. Cantika)
Labels:
Fotografi,
Stage Photography
Langganan:
Postingan (Atom)