Semoga tidak mengkomodifikasi agama lalu sampai pada proses konsumsi simbolis yang merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup di mana nilai-nilai sembolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang besar dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan dan fungsional.
Minggu, 29 Desember 2013
Agama Sudah Laku
Semoga tidak mengkomodifikasi agama lalu sampai pada proses konsumsi simbolis yang merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup di mana nilai-nilai sembolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang besar dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan dan fungsional.
Labels:
Biennale Jogja XII Equator #3,
Catatan,
Fotografi
Toleransi Untuk Si Gondrong
Tembok Toleransi adalah sebuah karya instalasi fenomenal yang membuat menginspirasi saya untuk menulis tentang gondrong. Hal kecil yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah fenomena sosial yang diam-diam individu pelakunya mendapat diskriminasi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa model rambut gondrong adalah model rambut yang fenomenal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gondrong adalah gon·drong a panjang karena lama tidak dipangkas (tt rambut orang laki-laki). Batas rambut yang disebut gondrong sendiri didefinisikan oleh banyak orang seperti melebihi telinga, menutup jidat atau sampai ke pundak. Tetapi ada gondrong yang sampai ke pangkal punggung. Gondrong menjadi fenomena yang menarik di Indonesia karena berbagai hal. Pertama,. Kata gondrong sendiri adalah kata yang bersifat maskulin karena hanya disematkan kepada laki-laki yang berambut panjang. Kedua, gondrong selalu identik dengan citra-citra negatif. Banyak stereotype yang melekat pada gondrong. Ketiga, gondrong di Indonesia mempunyai sejarah yang unik karena tidak dapat terlepas dari perkembangan musik rock. Menurut Adam, pelarangan rambut gondrong bukan hanya soal perbedaan persepsi tua-muda, militer-sipil, laki-laki-perempuan bahkan pop atau rock tetapi menyangkut pula masalah praktik kekuasaan dan simbol perlawanan terhadap kekuasaan tersebut. Pada era ’70-an biasanya perampok diberitakan berambut gondrong, tetapi sebaliknya era ’90-an penculik para aktivis dikabarkan berambut cepak. Berangkat dari fakta sosial dan sejarah kemunculannya tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan besar, mengapa gondrong menjadi sangat fenomenal di Indonesia?
Sekilas Sejarah Gondrong
Gondrong mulai menjamur di Indonesia bersamaan dengan mulainya sejarah musik rock di Indonesia pada tahun 1970-an pada era orde baru. Ditandai dengan munculnya band-band rock seperti God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy, Giant Step, Rawe Rontek sampai Bentoel. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Perkembangan musik rock di Indonesia didukung oleh awak media. Salah satunya pada saat itu majalah Aktuil menyematkan istilah musik rock sebagai musik underground karena itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya.
Musik rock dan gondrong sudah seperti dua sisi mata uang. Melekat dan tidak bisa dipisahkan. Musik rock di Indonesia masuk dan berkembang tidak hanya sebagai sebuah genre. Gondrong lahir sebagai bentuk ekspresi ideologis dari pelaku, penikmat, bahkan pengamat musik rock. Kegandrungan Indonesia terhadap musik rock tidak cukup ditunjukkan dengan mengapresiasi musik tersebut dari segi musikalitas. Tetapi reproduksi dan rekonstruksi makna dari citra musik diimplikasi kepada diri salah satunya melalui gondrong sebagai wujud apresiasi terhadap musik rock. Sebagai bentuk reproduksi dan rekonstruksi makna citra yang melekat pada musik rock—keras, gaya yang liar dan ekstrim—ikut melekat pada gondrong.
Ketika citra musik rock diperjelas melalui film besutan sutradara kenamaan Hollywood, Milos Forman. Film berjudul Hair ini sempat menjadi apologia kaum muda Indonesia untuk memelihara rambut gondrong. Polisi menganggap hal ini sebagai tindak penyimpangan. Awal tahun 70-an, disamping pemberantasan langsung atas rambut gondrong pencitraan buruk terhadapnya pun terus dilakukan lewat media massa, misalnya saja di harian Pos Kota pada tanggal 05 Oktober 1973 dilansir berita berjudul “7 Pemuda Gondrong Merampok Biskota”, juga pada tanggal 11 Oktober 1973 di harian yang sama terbit berita berjudul “Waktu Mabuk Di Pabrik Peti Mati : 6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita”, kemudian di harian Angkatan Bersenjata pada tanggal 29 September 1973 menerbitkan berita berjudul “5 Pemuda Gondrong Memeras Pakai Ancaman”, selanjutnya pada harian yang sama tanggal 18 Oktober 1973 terbit lagi berita tentang kecelakaan yang berjudul “Disambar Si Gondrong”, dan masih banyak lagi bukti-bukti pencitraaan gondrong melalui berita, baik cetak maupun elektronik.
Bandung menjadi kota yang sangat memerangi rambut gondrong. Rambut gondrong sempat menjadi permasalahan yang cukup serius. Mereka yang berambut gondrong tidak diperbolehkan mengurus surat identitas (SIM, KTP) maupun surat bebas G30S/PKI dari pihak kepolisian. Bahkan salah seorang mahasiswa ITB, Rene Coenraad, harus mati tertembak polisi ketika bentrok dengan taruna Akademi Kepolisian dan Brimob pada 6 Oktober 1970.
Pada tahun 1980-an perkembangan musik rock semakin hebat. Lantaran sub-sub genre musik rock yaitu thrash metal, heavy metal dan hardrock juga ikut mulai berkembang. Gondrong tetap hadir sebagai salah satu tonggak identitas penting dari pelaku, penikmat dan pengamat musik rock era 80an. Euphoria muncul mazhab-mazhab musik rock baru ini ditunjukkan oleh penampilan-penampilan musisinya yang sangat tidak wajar—konteks musisi Indonesia tahun 80an. Headbanger muncul di Indonesia pada era 80an ini karena headbanger melalui rambut gondrongnya adalah bentuk menunjukkan eksistensi antar geng fans grup musik tertentu.
Era 1990an hingga 2000 adalah zamannya indie musik. Musik rock pun merambah ke ranah independent. Musisi-musisi indie, memutuskan untuk berada di jalur indie karena tidak rela kreatifitas mereka dibelelenggu oleh label besar yang biasanya berorientasi pada selera pasar. Salah satu ikon musik rock yang pertama berada di jalur indie adalah PAS Band. Sebagai band yang ikonik pada awal kemunculannya PAS Band juga menjadikan gondrong sebagai gaya rambut personil-personilnya.
Mendobrak Persembunyian
Selain lewat musik, pelaku, penikmat dan pengamat musik rock kala itu juga menggunakan model rambut gondrong mereka sebagai sarana komunikasi. Model rambut mempunyai suatu fungsi yang komunikatif. Meminjam istilah Barnard yang mengatakan bahwa busana, kostum, dan dandanan adalah bentuk komunikasi artifaktual. Komunikasi artifaktual didefinisikan sebagai komunikaksi yang berlangsung melalui pakaian dan penataan perbagai artefak, misalnya pakaian, dandanan, barang perhiasan. Fashion, pakaian dan dandanan dapat menyampaikan komunikasi, pesan-pesan nonverbal.
Komunikasi nonverbal merupakan pesan akan tubuh manusia. Bagian tubuh manusia dapat diibaratkan sebagai kulit sosio-kultural manusia (Nordholt, 1997). Tubuh merupakan paradox yang dapat menghubungkan dan memisahkan manusia dengan dunia sosialnya. Sebagai lidah kedua, tubuh dapat menyuarakan ekspresi identitas diri. Melalui tubuh manusia dapat mendefinisikan (memberi batas-batas tentang identitasnya) dan menciptakan citra-citra tentang diri. Gondrong sebagai sebuah model rambut termasuk dalam kategori dandanan. Oleh karena itu ketika seorang berambut gondrong dapat diartikan bahwa ia sedang melakukan komunikasi nonverbal terhadap orang lain disekitarnya.
Sebagai sebuah media ekspresi rambut gondrong merupakan cara seorang untuk lepas dari suatu kekangan tertentu. Ketidaksopanan pada rambut gondrong menjadi bias karena sebenarnya rambut gondrong adalah symbol universal dari kebebasan kultural. Rambut gondrong secara simbolis mengikat suatu komunitas dan menunjukkan suatu kesepakatan sosial. Secara tidak langsung dengan berambut gondrong seseorang dapat diterima dan memperkokoh suatu ikatan sosial. Rambut Gondrong dan Ekspresi Perjuangan. Perjuangan kebangkitan nasional adalah babak pembuka dalam mempropagandaakan hindia belanda untuk keluar dari cengkraman kolonialisme yang menindas. Menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Perjuangan itu mencapai klimaksnya pada masa perjuangan kemerdekaan dan “Revolusi belum usai” yang diteriakkan oleh Bung Karno. Terdapat hal menarik dalam masa perjuangan revolusi itu, terkait pada persoalan rambut para pemuda dan mahasiswa yang ketika itu adalah pelopor perjuangan, yang kemudian hari ini diteladani oleh pemuda dan mahasiswa yang berkesadaran bahwa estafet perjuangan terdapat di pundaknya, meskipun tak semua yang berambut gondrong menyadari hal demikian. Ali Sastromidjojo (1974 :198) dalam otobiografinya mengatakan bahwa pemuda dan mahasiswa berambut gondrong di Yogyakarta pada awal 1946 merupakan kekuatan revolusi, “...terasa sekali sebagai kota yang hidup di tengah-tengah pergolakan revolusi. Banyak pemuda-pemuda berambut gondrong dan bersenjata masih berkeliaran. Pada umumnya pakaiannya compang-camping. Sikap dan tingkah laku mereka masih seperti pejuang-pejuang yang baru saja menang perang. Merasa jaya, kuat dan gagah berani menghadapi musuh atau siapapun yang menentang negara dan bangsanya, atau … pribadinya sendiri dan golongan atau kelompoknya. Pemuda-pemuda berambut gondrong, pejuang-pejuang bersenjata yang tak terkenal namanya, dan dengan tingkah lakunya yang serba serampangan inilah yang merupakan kekuatan revolusi kita.”.
Dari sudut pandang agama. Umat kritiani memberikan imaji tentang Yesus sebagai pria berambut gondrong. Lalu dalam Islam, Nabi Muhammad juga dalam Al-Quran diceritakan mempunyai rambut yang gondrong. Di dalam keduanya tersimpan mahzab-mahzab perjuangan. Komunikasi non verbal yang dibentuk oleh rambut gondrong hadir dalam mengekspresikan pengobaran api perjuangan dalam melawan ketidakadilan dan penindasan, termasuk di dalamnya pengebirian hak-hak individual dalam memilih selera model rambut.
Terbangunnya Stereotype.
Indonesia zaman orde baru tubuh berada pada ranah tradisional di mana tubuh masih berpegang pada nilai-nilai yang bersifat non-privacy lebih bersifat kolektif, milik komunal dan bukan milik individu. Sejarah pelarangan rambut gondrong adalah sejarah praktik kekuasaan para diktator untuk mempertahankan kekuasaannya tanpa protes dan tanpa rongrongan dari rakyat yang muak atas penindasannya. Rezim kolonial telah berhasil melakukan itu dan setelah merdeka diteladani secara sempurna oleh rezim Orde Baru. Akhir periode pertama pemerintahan Orba, tepatnya pada tahun 1970-an di bawah instruksi Soeharto melalui Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan & Ketertiban dibentuk lembaga yang bernama Badan Pemberantasan Rambut Gondrong (BAKORPERAGON) yang berfungsi untuk memberantas seluruh pemuda dan mahasiswa yang berambut gondrong (Arya Wiratma : 2010). Dibantu dengan TNI yang bersenjatakan gunting mereka mencari seluruh pemuda dan mahasiswa yang berambut gondrong untuk dicukur paksa, mereka turun ke jalan, masuk ke dalam kampus, sekolah, dan menyisir tempat-tempat yang diketahui banyak pemuda dan mahasiswa di dalamnya. Alasanya, tidak lain dari persoalan yang menganggap bahwa rambut gondrong adalah tidak rapi, tidak sopan, tidak sesuai dengan budaya bangsa, tidak mencerminkan sikap peduli (baca: apatis-asosial) dan masih banyak lagi tidak tidak mereka yang sangat tidak rasional. Protes-protes dan petisi dari mahasiswa pun bermunculan salah satunya yang terbit pada harian Indonesia Raya, 11 September 1973, pada laman tajuk rencana dengan judul “Buat Apa Ribut-Ribut Soal Rambut Gondrong”. Oleh karena itu tidak heran jika terjadi peristiwa tertembaknya seorang mahasiswa ITB Rene Coenraad yang bentrok dengan polisi karena melakukan protes terkait diskriminasi pemerintah terhadap orang-orang yang berambut gondrong.
Kognitif masyarakat kala itu menganggap konstruksi tubuh ideal adalah apa yang dibentuk oleh Negara sehingga gondrong merupakan ketidaklaziman yang pada struktur masyarakat dinilai mengganggu. Kala itu negara dirasa perlu turun tangan untuk memberantas individu yang berambut gondrong karena Negara menerapkan bio-politic seperti yang dikatakan Foucault bahwa, “the body is the last arenas open to control”. Dilarangnya gondrong pada masa ini membuktikan bahwa tubuh merupakan cerminan kekuatan sebuah rezim. Anthony Synnott mengatakan konflik antara hak-hak individu dan Negara mengenai tubuh seperti ini secara khusus Nampak jelas di dalam kontroveri…ikut campur tangan di dalam tubuh.
Seiring berkembangnya waktu globalisasi menghadirkan modernisasi. Mau tidak mau Indonesia juga ikut terkena dampaknya. Simmel mengatakann bahwa modernitas menumbuhkan transformasi generalitas menjadi individualitas. Tubuh di Indonesia pun mengalami disposisi dari ranah tradisional ke ranah modern yang lebih berada pada nilai-nilai individual dan mengenal privacy atau dengan kata lain, nilai-nilai kolektif runtuh. Sepakat dengan Irwan Abdullah yang mengatakan bahwa proses globalisasi telah melahirkan diferensiasi yang meluas yang tampak dari proses pembentukan gaya hidup dan identitas. Kognitif masyarakat pun mengalami pergeseran. Nilai-nilai general bergerser menjadi nilai-nilai yang konteksnya lebih khusus.
Gondrong di Indonesia perlahan menjadi hal yang tidak lagi dilarang secara terang-terangan.Isu-isu modernitas menghadirkan paradigma tubuh individual di mana tubuh bukanlah sesuatu yang secara kodrati terbentuk begitu saja. Paradigma ini mempunyai pikiran bahwa tubuh mempunyai otoritas individual. Otoritas penuh atas tubuh berada pada kehidupan manusia. Di antara kebingungan ini pada tahun-tahun 1980an menjadi era liminalitas. Gondrong menjadi suatu identitas ritual atas tubuh. Gondrong disematkan nilai-nilai sacral. Gondrong identic dengan kebebasan, kejantanan, luapan ekspresi jiwa dan seni, pecinta alam sejati, ketangguhan dan ketegaran, keintelektualan seseorang bahkan sampai tingkat keprihatinan seseorang atas penghayatannya kepada sesuatu.
Pada masa-masa ini melihat lewat sejarah musik rock, mulai muncul geng-geng atau komunitas-komunitas yang terbentuk sebagai “fanbase” dari suatu grup musik tertentu. Menurut Irwan Abdullah, komunitas secara baku menunjuk pada suatu sistem sosial dengan suatu pola hubungan yang dibedakan secara langsung dengan sistem sosial yang lebih formal. Salah satu sifat kunci komunitas adalah adanya kesadaran tentang perbedaan dengan yang lain. Sifat komunitas inilah yang pada akhirnya menjadi pemicu konflik antar komunitas. Tidak jarang pada era 1980an konser musik rock selalu diwarnai oleh tawuran antar fanbase musik rock yang melibatkan anak-anak gondrong.
Lalu sejalan dengan sejarah musik rock, sejarah orde baru juga telah mengkonstruksi bahwa rambut gondrong adalah benar-benar buruk dan harus Mereka itulah yang termasuk sebagai korban kuasa stigma dan represi ingatan (Tri Guntur : 2009). Konstruksi buruk tentang gondrong diciptakan oleh media-media zaman orde baru. Banyak berita-berita pada tahun-tahun 1970an memberikan banyak sekali pencitraan buruk tentang gondrong. Sejarah tersebut terbukti kebenarannya ketika di berita-berita pengalihan isu telah berhasil memberikan pencitraan atau kesan negatif terhadap rambut gondrong, dan secara terus menerus modus pencitraan itu dilakukan hingga akhirnya hadir dalam ingatan orang-orang bahwa rambut gondrong telah identik dengan “Pemerkosa”, “Pemeras”, “Perampok”, “Perampas” dan “Pemabuk”serta seluruh kata-kata yang erat kaitannya dengan tindak kriminal dan mengganggu ketentraman umum, diperkuat lagi oleh hasil penelitian yang dilakukan Aria W. Yudhistira yang berkesimpulan bahwa jarang bahkan tidak pernah ditemukan dalam pemberitaan media tentang pelaku kriminal yang berciri-ciri botak, gundul dan cepak (tentunya ini dilakukan sebagai upaya menghindari pelecehan citra ABRI dan penguasa lainnya), seolah perbandingan tersebut memberi kesan suci pada yang botak, gundul dan cepak.
Pribadi yang memiliki rambut gondrong mulai dikenal sebagai preman, jorok dan tidak bersih, orang yang sangar dan susah diatur. Gondrong menjadi ciri tubuh yang ofensif. Seorang dengan rambut yang tumbuh di luar batas wajar atau dengan kata lain di luar kendali membuat masyarakat mulai bernalogi apapun yang berada di luar kendali selalu merupakan ancaman. Kaum subordinat yang di luar kendali dinilai dapat merusak keharmonisan tatanan sosial maupun kultural. Ekspresi-ekspresi kaum gondrong dianggap sebagai rapuhnya control sosial. Dengan memiliki rambut gondrong, seseorang dianggap sedang atau ingin mendapatkan kebebasan dari control sosial.
Gondrong mengalami pergeseran makna. Tanda-tanda pergerseran makna ini dapat dilihat dari stereotype yang akhirnya muncul dan terepresi sampai saat ini. Dalam ranah kognitif masyarakat mulai terbentuk suatu hakikat interpretan tanda-tanda yang menurut Peirce dibedakan menjadi rema, tanda disen dan argument. Pada masyarakat Indonesia, gondrong telah mengalami trikotomi ketiga rema, disen dan argumen ini. Rema adalah suatu tanda kemungkinan kualitatif yakni tanda apapun yang tidak betul dan tidak salah (Budiman, 2011). Kedua, tanda disen adalah tanda eksistensi actual satu tanda factual yang biasanya sebuah proposisi (Budiman, 2011). Gondrong yang disandingkan dengan sebuah sifat tententu pada disen akan membentuk pernyatan betul atau salah, namun belum secara langsung menjelaskan alasan betul atau salah tersebut. Argumen adalah tanda hukum atau kaidah suatu tanda nalar yang didadasari oleh leading principle yang menyatakan bahwa peralihan premis-premis tertentu kepada kesimpulan tertentu cenderung benar (Budiman, 2011). Jadi ketika terjadi suatu peristiwa negatif yang terjadi dan melibatkan seseorang berambut gondrong silogisme yang terbangun lewat penyatuan ketiga hal tersebut pada seorang individu berambut gondrong adalah semua orang berambut gondrong itu berkelakuan negatif. Si A adalah anak berambut gondrong. Maka argumentasi yang dihasilkan adalah si A itu berkelakuan negatif. Metafora yang lambat laut tercipta antara dua objek terkait tanda-tanda simbolis menjadikan individu berambut gondrong didiskriminasikan.
Kesimpulan dan Refleksi Sebuah Toleransi
Relativisme seharusnya menjadi hal yang sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan dalam bangsa yang multikultur. Pandangan yang berbeda sudah pasti menjadi hal yang biasa ditemua dalam kehidupan. Oleh karena itu ada baiknya sebagai individu tidak memukul rata suatu hal dan terburu memberi stereotype atau pandangan negatif terhadapnya. Pepatah mengatakan, “don’t judge a book by its cover”. Terkadang tidak jarang ditemui orang yang berambut gondrong justru lebih sangat santun dalam berkata, mempunyai daya kreasi seni yang tinggi dan lebih peka terhadap kondisi sosio-kultural masyarakatnya. Coba tengok beberapa orang gondrong maupun yang pernah gondrong seperti Abraham Samad, Ruhut Sitompul, mantan menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo, beberapa seniman besar di Indonesia dan beberapa akademisi-akademisi di sekitar kita dimana mereka adalah orang yang berambut gondrong atau pernah berambut gondrong tapi mampu mendedikasikannya terhadap bangsa dan negara. Sikap relative bukan untuk menjadi bagian dari ruang negosiasi atas berlakunya suatu nilai dan praktik tetapi juga menjadi titik penting bagi perubahan masyarakat secara mendasar di mana makna-makna mengalami pergeseran dari waktu ke waktu (Abdullah, 2010).
Hingga kini, kuasa stigma dan represi ingatan tersebut belum hilang dari kepala orang tua pada umumnya, rambut gondrong masih menjadi momok ketakutan dan kecemasan. Padahal, mereka lupa dengan model rambut dan pakaian Soeharto beserta TNI-nya sebagai pelaku holocaust terkejam di abad 20 yang berhasil membantai manusia Indonesia hingga lebih dari 1000.000 jiwa sebagai syarat memancangkan kursi kekuasaannya. Sudjiwo Tedjo pada salah satu bukunya mengatakan bahwa, “revolusi pemberantasan korupsi itu para cewek ogah punya cowok rambut pendek, para ortu mendambakan menantu gondrong”. Gondrong dianggap sebagai salah satu bentuk ekspresi kebencian atas kemunafikan. Dandanan yang necis dan rambut plontos atau rapi disepakati sebagai bentuk kemunafikan. Gondrong dianggap sebagai symbol universal dan apa adanya. Sebagai suatu fenomena sosio-kutural, gondrong lebih baik dipandang bukan sebagai suatu yang semata-mata diwariskan tetapi sebagai suatu yang berkembang mengikuti di mana gondrong itu ada.
Sabtu, 28 Desember 2013
Jangan Heran
Nasionalisasi bahasa Indonesia membuat bahasa daerah memudar dan kehilangan eksistensinya. Arus informasi yang terlalu cepat biasanya menghadirkan, memberikan, menggantikan istilah-istilah baru yang tidakdapat ditemui pada bahasa daerah. Nasionalisasi memberikan implikasi terabaikannya keberadaan kebudayaan yang beragam. Bahasa daerah mengandung materi-materi, kearifan-kearifan, ideologi serta nilai-nilai yang sangat kaya. Hilangnya bahasa daerah berarti semua materi-materi itu juga akan ikut hilang. Azaz tunggal yang diterapkan oleh Bhineka Tunggal Ika yang tidak dihayati secara tepat. Masalahnya bukan lagi terletak pada perbedaan atau persamaan tapi penyeragaman dan penyamaan. Beda telah kehilangan tempat. Heterogenitas menjadi homogenitas. Pergeseran-pergeseran ini sering terjadi tapi tidak disadari. Jangan heran ketika sadar nanti orang Jawa sudah hilang Jawanya.
Labels:
Catatan,
Ethnophotography,
Fotografi
Jumat, 27 Desember 2013
Tafsir Tiga Kata - Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Ulah Ormas
Plesetan dari peribahasa "bersatu kita teguh bercerai kita runtuh" yang telah ditanamkan kepada kita sejak kecil diubah sedemikian rupa oleh seniman Biennale Jogja XII Equator #3 dengan sangat cantik. Refleksi yang dihadirkan tidak saja mengenai "ada"nya diri kita pada satu kalimat tersebut tapi lebih dari itu kita sudah tertampar dan tercabik.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh menunjukkan relasi kausalitas. Peribahasa tersebut secara sederhana menjelaskan bahwa kita bersatu karena kita teguh dan sebab kita runtuh adalah karena kita bercerai. Berangkat dari plesetan yang merujuk pada bermain kata-kata agar menjadi sebuah frase atau kata baru yang lebih menarik, mari kita sedikit bermain kata.
Jadi jika disubtitusikan setiap kata-kata pembentuknya, antara peribahasa dengan plesetannya adalah frase "bersatu kita teguh" tidak mengalami perubahan pada frase plesetan. Lalu frase "bercerai kita runtuh" digantikan dengan frase "Bercerai kita ulah ormas". Jadi jika--menggunakan metode utak-atik gathuk --dipisahkan dan dianalogikan setiap katanya, "bercerai - kita - runtuh" sama dengan "bercerai - kita - ulah ormas".
Dapat dilihat bahwa padanan kata runtuh--antara pribahasa dan plesetannya--adalah ulah ormas. Oleh karena itu dapat kita tarik kesimpulan pemaknaan dari plesetan tersebut adalah kritik sosial yang secara kasar bisa dikatakan "untuk mengupdate" peribahasa lama yang mungkin relevansinya kurang untuk menanggapi fakta-fakta sosial yang terjadi dewasa ini.
Ulah menurut KBBI Dalam Jaringan adalah ulah n tingkah laku, tindakan, sikap (menyalahi norma, aturan, adat): faktor lain penyebab merajalelanya korupsi itu adalah -- pelakunya yg kurang bertanggung jawab;
Penjelasan menurut arti kata ini membuat kita dapat menarik benang merah bahwa ketika ada suatu ormas tertentu yang berulah maka ormas tersebut telah melakukan kerja ber·u·lah yang artinya v bertingkah laku, bertindak, bersikap (menyalahi norma, kaidah, adat). Lalu apa gunanya taat beragama jika bertingkah laku, bertindak dan bersikap yang menyalahi norma, kaidah bahkan adat?
Indonesia Sebuah Anomali
Indonesia itu memang penuh anomali dan konteks. Kulturnya yang Bhineka seharusnya justru makin membuat kita manunggal dalam toleransi. Aneh jika kita tidak terbiasa dengan perbedaan bahkan cenderung selalu mendebat dan mengutuknya. Beda itu bukan suatu kesalahan dan penyamaan bukanlah jalan keluar.
Beberapa hari yang lalu terdengar berita tentang polwan-polwan yang baru saja berjilbab, eh waktu perayaan natal justru malah memakai topi dan baju santa. Sangat disayangkan bahwa berita macam ini diangkat ke publik dengan kacamata yang kurang menunjukkan toleransi atas keadaan multikultur yang kita miliki. Seharusnya kita terbiasa menanggapi masalah seperti ini. Karena bisa di lihat,direfleksikan kalau perlu dan mau. Di sekolah katolik atau kristen, biasanya tetap disediakan mushola. Sementara tidak bisa kita jumpai kapel kecil berdiri di tengah tengah sekolah negeri biasa yang notabene bukan sekolah islam tapi sekolah negeri atas nama bangsa Indonesia yang multikultur dan multireligi. Seorang teman dengan sudut pandang kepercayaan tertentu mengatakan bahwa peristiwa ini menggambarkan keadaan negeri yang menyedihkan. Jangan salahkan nusantara, yang menyedihkan bukan negaranya tapi manusianya. Karena para penyelenggara negara itu dan karena manusia yang membayangkan Indonesia seolah-olah sama dengan bangsa Arab sana. Menteri agama yang seharunya merangkul semua agama di Indonesia malah bersikap diskriminan terhadap salah satu agama. Pernyataan dan tanggapannya terhadap kepolisian itu sangat kurang Tunggal Ika. Mohon maaf, jika tidak ingin melihat fenomena multikultur, janganlah hidup di Indonesia, jadi menteri pula.
Mengertilah bahwa ada 6 agama diakui, ada beratus kepercayaan dari beribu suku bangsa di jagad nusantara ini. Yah, sudahlah, entah mengapa, menteri agama juga selalu orang Islam. Di Indonesia, muslim itu sudah mayoritas, kurang apa lagi, masih ingin mendominasi?.
Ingat, jika bercerai kita......"runtuh"
Islam Datang Bukan Untuk...
Purification karya FX Harsono membawa ingatan saya kepada kata-kata mantan presiden republik kita yang legendaris dan dikenal sangat pluralis. Sesuai dengan namanya, kata-katanya ini memang sangat Wahid dan sesuai dengan maksud makna dari Purification karya FX Harsono ini.
Gus Dur pernah berkata, "Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan jadi antum, sedulur jadi akhi. Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi ajarannya, tapi bukan budayanya".
Kamis, 26 Desember 2013
Tafsir TIga Kata - Sepandai Tupai Melompat Akhirnya di Petshop
Masih tentang refleksi pada bangsa sendiri. Pada diri sendiri. Posting sebelumnya telah membahas tentang refleksi yang dijelaskan berbeda dengan bercermin karena refleksi lebih seperti mengorek-ngorek apa yang ada dalam diri. Ranah yang dicapainya lebih dalam dan lebih sampai ke perihal jiwa, rasa, hati dan nurani. Pantulan yang terpancar bukan hanya pantulan kasat mata.
Seniman Biennale Jogja XII Equator #3 masih berhasil membuat pikiran saya tertuju kepada satu kata dari tiga buah kalimat yang menjadi punctum di sudut ruangan pameran Biennale Jogja XII Equator #3 di Taman Budaya Yogyakarta.
Sepandai Tupai Melompat Akhirnya di Petshop
Membaca satu kata ini, pikiran melayang kepada persoalan komodifikasi manusia yang sudah mulai tajam (kembali) tercium baunya. Peradaban modern menjadikan tubuh manusia baik laki-laki maupun perempuan seperti sebuah barang. Fakta sejarah membuktikan bahwa peradaban yang semakin modern mengakibatkan "tubuh" bergeser dari ranah-ranah tradisional dan komunal ke ranah privatisasi. Pada modernisasi tahap ini "tubuh" telah mengetahui konsep malu yang lebih dalam daripada pada era-era sebelumnya. Namun dewasa ini modernisasi telah berlanjut menjadi tahap setelah moderninasi yaitu ditandai dengan munculnya pergeseran "privat" menjadi "otoritas penuh akan tubuh".
Relasi otoritas yang terjadi kepada tubuh tidak hanya terjalin pada dalam diri individu itu sendiri. Tapi otoritas tersebut juga sebenarnya dikuasai oleh otoritas lainnya -- pihak-pihak di luar tubuh (faktor sosial, politik, ekonomi dan budaya. Atau dengan kata lain, otoritas penuh tersebut tidak dapat dikatakan penuh sepenuh-penuhnya karena mau tidak mau, manusia akan membentuk dirinya sebaik-baiknya menurut dirinya tetapi tetap berorientasi pada otoritas pihak di luar tubuh. Karena jika tidak demikian maka tubuh tersebut tidak akan berada pada satu lingkaran yang "ideal" menurut pemegang otoritas di luar tubuh.
Eksploitasi dan komodifikasi manusia adalah isu yang sangat berkaitan dengan, "Sepandai Tupai Melompat Akhirnya di Petshop". Mengapa? Karena penjelasan mengenai tubuh manusia di era setelah modernisasi yang dianggap mempunyai "otoritas penuh akan tubuh" sebenarnya tidak benar-benar mempunyai otoritas. Sebaik-baiknya kita "membentuk" tubuh kita pada akhirnya kita hanya akan berakhir menjadi barang dagangan dan selayaknya barang dagangan, otoritas tertinggi ada pada pasar.
Sepandai Tupai Melompat Akhirnya di Petshop adalah persoalan memanusiakan manusia. Kemanusiaan adalah isu-isu sosial yang seharusnya dilihat dan direfleksikan oleh penyelenggara negara ini. Sudah terbukti bahwa bangsa kita adalah bangsa yang telat kritis.Saat merebaknya pariwisata sebagai lahan pendongkrak ekonomi, setelah budaya ikut dijadikan komoditas, kita baru merasa terusik dan mulailah banyak dilakukan kajian-kajian pariwisata berbasis alam dan budaya. Lalu yang paling akhir yaitu munculnya industri kreatif. Pertanyaannya, Apakah kita sebagai pelaku industri kreatif pada akhirnya juga harus menjual diri kita sendiri untuk menjawab tantangan pasar? Jika tidak, tentu beruntunglah kita yang sudah mulai bijak. Tetapi jika iya, pertanyaan yang muncul adalah mengapa?
Sungguh ironik, sudah jatuh tertimpa tangga dan tidak ada yang menolong, mungkin itu yang bisa menjadi gambaran atas persoalan bangsa ini. Buruh memang korban sekorban korbannya. Tenaganya dan tubuhnya telah menjadi lahan eksploitasi dan komodifikasi. Seksualitas juga buruh dikebiri. Kriteria-kriteria akan tubuh ideal yang cocok untuk bekerja sebenarnya adalah contoh-contoh praktek diskriminasi seksualitas. Sepakat dengan kata Bambang Hudayana pada salah satu kuliahnya yang mengatakan bahwa buruh selalu dikonstruksikan entah bagaimana untuk selalu berada di pihak yang lemah dan tak berdaya (terdominasi) sehingga—dikomodifikasi—kehilangan harkat kemanusiaannya. Apakah bangsa kita sudah kehilangan arah sehingga memilih untuk menjadi komoditas dalam pasar manusia dalam keadaan tanpa daya, tanpa otoritas, tanpa otonomi?
Lalu adakah tupai pandai yang tidak berakhir di petshop?
Rabu, 25 Desember 2013
Signature Project - HiLo Solo 2013
Labels:
Fotografi,
Stage Photography
Tafsir Tiga Kata - Jauh di Mata Dekat di Korup
Refleksi
Refleksi, sebuah kata yang banyak diucapkan menjelang tutup tahun. Banyak mereka yang bilang akhir tahun adalah saat yang tepat untuk berefleksi atau bercermin pada diri sendiri. Padahal berrefleksi sangat berbeda dengan bercermin walaupun pada diri sendiri sekalipun. Analoginya tentu kita semua pernah bercemin. Kita bercermin pada sebuah cermin, kaca atau apapun yang bisa memantulkan bayangan diri kita. Hampir setiap saat hendak pergi menemui kerabat atau kekasih kita pasti bercermin untuk melihat sudah baikkah penampilan kita. Ketika bercermin, bayangan yang terpantul dalam cermin hanya bayangan kita, penampilan kita secara denotasi.Terlihat pakaian, celana, warna bibir, model sepatu, gaya rambut dan apapun yang pada saat itu melekat pada diri kita. Bercermin hanya mengizinkan kita untuk melihat apa yang tampak terlihat oleh mata. Sementara dalam berefleksi bayangan diri kita yang terpantul tidak hanya bayangan diri yang kasat mata tapi lebih dalam dan lebih lebur. Menyangkut ranah kognitif, perasaan, hati nurani, afeksi, dendam dll. Seharusnya sebagai bangsa yang sering menjadikan refleksi sebagai acara tutup tahun, bangsa kita dapat lebih mengerti makna atau hakekat sesuatu dengan lebih bijak, pikiran terbuka, jernih, kritis tapi membangun dari dalam. Tapi pada kenyataannya setiap tahun refleksi kita terbukti hanya sia-sia. Mengapa? Karena kita hanya menjadikan refleksi sebagai "supaya ada status facebook tahun baru?" atau karena kita masih sekedar "bercermin"?. Mari refleksikan.
Jauh di Mata dekat di Korup
Sayangnya gotong royong tersebut sampai ke korupsi. Jauh di Mata dekat di Korup adalah kalimat poster yang sangat menggugah jika direfleksikan. Mengapa? Karena hal inilah yang terjadi pada bangsa ini. Sebuah ironi di bangsa sendiri yang mempunyai azaz gotong royong sebagai alat pemersatu. Gotong royong dalam hal apapun tentu telah menjadi kebudayaan. Azaz ini terbukti dapat mendekatkan yang jauh dari segi keakraban, kerjasama dan rasa-rasa komunal yang terjalin tapi sayangnya korupsi pun digotongroyongkan. Ingat Iwan Fals lewat lagunya yang meneriakkan korupsi terjadi sampai kelurahan? Ya, hal itu masih banyak terjadi sampai saat ini. Ada suatu desa di Pemalang, Jawa Tengah yang masih tercium praktik-praktik semacam ini. Korupsi kecil-kecilan yang terjadi persis seperti "Jauh di Mata dekat di Korup". Masing-masing pihak atau individu yang korupsi memang biasanya tidak saling mengenal baik secara personal, bahkan mungkin tidak pernah saling bertemu tapi diam-diam mereka bekerjasama (kongkalikong) saling melindungi dengan azaz gotong royong untung sama untung untuk menggelapkan aliran-aliran dana dari pemerintah yang seharusnya digunakan untuk pembangunan desa. Tak sedikit warga yang tahu bahwa beberapa kelompok atau individu melakukan korupsi tapi fakta sosial yang terjadi warga lebih memilih untuk menggunjingkannya di belakang (ngrasani) dan tidak melapor atau menegur secara langsung untuk menghindari konflik terbuka.
Lalu sangat manusiawi jika sebagai manusia kita mempunyai cita-cita atau keinginan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam hidup. Tentunya untuk mencapai singgasana kehidupan itu jalan yang dilewati tidaklah selalu mulus. Jauh di Mata dekat di Korup juga dapat direfleksikan untuk menerawang jauh ke dalam diri kita pada ranah mencapai tujuan hidup ini. Tidak sedikit dari masyarakat kita yang sangat ingin segera cepat-cepat mendapat tujuan-tujuan hidupnya, berbagai cara menjadi halal untuk ditempuh. Termasuk korupsi. Korupsi yang terjadi bukan hanya perihal mencuri uang lagi, tapi penyalahgunaan wewenang yang akhirnya menjadi lahan untuk korupsi. Karena dengan "memanfaatkan wewenang" jalan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tadinya buntu bisa langsung dengan sekejap mata terbuka lurus dan mulus. Jadi walaupun cita-cita, tujuan-tujuan itu masih jauh dan jalannya masih panjang yang kita sering pikirkan (secara jauh dan baik) bukan tentang bagaimana cara-cara yang baik untuk menggapainya tetapi pikiran kita (lebih dekat) ke cara-cara instan untuk sampai ke sana.
Jauh di Mata Dekat di Korup bukanlah sebuah kata-kata biasa. Ia bisa dihidupkan dalam diri sebagai api pemantik refleksi.
Refleksi, sebuah kata yang banyak diucapkan menjelang tutup tahun. Banyak mereka yang bilang akhir tahun adalah saat yang tepat untuk berefleksi atau bercermin pada diri sendiri. Padahal berrefleksi sangat berbeda dengan bercermin walaupun pada diri sendiri sekalipun. Analoginya tentu kita semua pernah bercemin. Kita bercermin pada sebuah cermin, kaca atau apapun yang bisa memantulkan bayangan diri kita. Hampir setiap saat hendak pergi menemui kerabat atau kekasih kita pasti bercermin untuk melihat sudah baikkah penampilan kita. Ketika bercermin, bayangan yang terpantul dalam cermin hanya bayangan kita, penampilan kita secara denotasi.Terlihat pakaian, celana, warna bibir, model sepatu, gaya rambut dan apapun yang pada saat itu melekat pada diri kita. Bercermin hanya mengizinkan kita untuk melihat apa yang tampak terlihat oleh mata. Sementara dalam berefleksi bayangan diri kita yang terpantul tidak hanya bayangan diri yang kasat mata tapi lebih dalam dan lebih lebur. Menyangkut ranah kognitif, perasaan, hati nurani, afeksi, dendam dll. Seharusnya sebagai bangsa yang sering menjadikan refleksi sebagai acara tutup tahun, bangsa kita dapat lebih mengerti makna atau hakekat sesuatu dengan lebih bijak, pikiran terbuka, jernih, kritis tapi membangun dari dalam. Tapi pada kenyataannya setiap tahun refleksi kita terbukti hanya sia-sia. Mengapa? Karena kita hanya menjadikan refleksi sebagai "supaya ada status facebook tahun baru?" atau karena kita masih sekedar "bercermin"?. Mari refleksikan.
Jauh di Mata dekat di Korup
Sayangnya gotong royong tersebut sampai ke korupsi. Jauh di Mata dekat di Korup adalah kalimat poster yang sangat menggugah jika direfleksikan. Mengapa? Karena hal inilah yang terjadi pada bangsa ini. Sebuah ironi di bangsa sendiri yang mempunyai azaz gotong royong sebagai alat pemersatu. Gotong royong dalam hal apapun tentu telah menjadi kebudayaan. Azaz ini terbukti dapat mendekatkan yang jauh dari segi keakraban, kerjasama dan rasa-rasa komunal yang terjalin tapi sayangnya korupsi pun digotongroyongkan. Ingat Iwan Fals lewat lagunya yang meneriakkan korupsi terjadi sampai kelurahan? Ya, hal itu masih banyak terjadi sampai saat ini. Ada suatu desa di Pemalang, Jawa Tengah yang masih tercium praktik-praktik semacam ini. Korupsi kecil-kecilan yang terjadi persis seperti "Jauh di Mata dekat di Korup". Masing-masing pihak atau individu yang korupsi memang biasanya tidak saling mengenal baik secara personal, bahkan mungkin tidak pernah saling bertemu tapi diam-diam mereka bekerjasama (kongkalikong) saling melindungi dengan azaz gotong royong untung sama untung untuk menggelapkan aliran-aliran dana dari pemerintah yang seharusnya digunakan untuk pembangunan desa. Tak sedikit warga yang tahu bahwa beberapa kelompok atau individu melakukan korupsi tapi fakta sosial yang terjadi warga lebih memilih untuk menggunjingkannya di belakang (ngrasani) dan tidak melapor atau menegur secara langsung untuk menghindari konflik terbuka.
Lalu sangat manusiawi jika sebagai manusia kita mempunyai cita-cita atau keinginan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam hidup. Tentunya untuk mencapai singgasana kehidupan itu jalan yang dilewati tidaklah selalu mulus. Jauh di Mata dekat di Korup juga dapat direfleksikan untuk menerawang jauh ke dalam diri kita pada ranah mencapai tujuan hidup ini. Tidak sedikit dari masyarakat kita yang sangat ingin segera cepat-cepat mendapat tujuan-tujuan hidupnya, berbagai cara menjadi halal untuk ditempuh. Termasuk korupsi. Korupsi yang terjadi bukan hanya perihal mencuri uang lagi, tapi penyalahgunaan wewenang yang akhirnya menjadi lahan untuk korupsi. Karena dengan "memanfaatkan wewenang" jalan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tadinya buntu bisa langsung dengan sekejap mata terbuka lurus dan mulus. Jadi walaupun cita-cita, tujuan-tujuan itu masih jauh dan jalannya masih panjang yang kita sering pikirkan (secara jauh dan baik) bukan tentang bagaimana cara-cara yang baik untuk menggapainya tetapi pikiran kita (lebih dekat) ke cara-cara instan untuk sampai ke sana.
Jauh di Mata Dekat di Korup bukanlah sebuah kata-kata biasa. Ia bisa dihidupkan dalam diri sebagai api pemantik refleksi.
Labels:
Biennale Jogja XII Equator #3,
Catatan,
Fotografi
Sabtu, 21 Desember 2013
Komik-Komik Kerakyatan
Setelah Gundala Putra Petir karya Harya Suryaminata, Godam karya Wid. NS dan komik-komik pewayangan karya R.A Kosasih, nyawa jagad komik Indonesia seperti kehilangan suara. Komik di Indonesia pernah mengalamai masa kejayaan pada tahun 1968 sampai 1970an. Pada era ini komik-komik yang banyak hadir kebanyakan adalah komik-komik bertemakan superhero karena terinspirasi dari komik-komik amerika yang pada saat itu sedang meledak-ledaknya komik superhero Marvel dan D.C Comic. Dalam dunia komik superhero, Yogyakarta bisa disamakan dengan New York. Mengapa? New York memiliki Spiderman, Flash, dkk sementara di Yogyakarta hidup Gundala dan Godam.
Tetapi sejak masuknya manga dan komik-komik Amerika yang makin beragam, komik Indonesia mulai kehilangan suara. Penikmat komik Indonesia kala itu menganggap komik-komik luar negeri lebih variatif dan kreatif—baik dari segi gambar maupun cerita. Pada saat itu gambar maupun cerita komik Indonesia dianggap terlalu monoton, tidak menarik dan belum ada inovasi yang mampu membuat penikmat komik semakin gandrung pada komik Indonesia.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa semakin lama, gambar komikus Indonesia semakin bagus bahkan terdengar nama seperti Chris Lie dan Ardian Syaf yang telah melalang buana sampai luar negeri karena kemampuan menggambar komiknya yang diatas rata-rata. Namun komik yang baik tidak cukup hanya mengandalkan gambar yang bagus. Cerita pada komik juga merupakan elemen yang sangat penting.
Komikus Indonesia banyak yang terlalu sibuk memikirkan hal teknis dan kadang terlalu berada ”di bawah tanah” atau merangkap sebagai desaine atau animator (tidak menjadikan komik sebagai lahan utamanya) sehingga tidak bisa dipungkiri terdapat jarak yang jauh antara komikus Indonesia dengan masyarakat. Hal ini mengakibatkan cerita-cerita yang diangkat ke komik oleh komikus Indonesia terkadang tidak sesuai dengan isu-isu, pengalaman-pengalaman kultural yang ada pada masyarakat.
Setiap individu yang membaca komik tentu memiliki interpretasi yang berbeda antara satu pembaca dengan pembaca lainnya walaupun membaca komik yang sama. Interpretasi itu dibentuk oleh faktor fenomenologis yaitu pengalaman, latar belakang sosial, dan pengetahuan dasarnya. Berangkat dari asumsi ini bisa dikatakan bahwa semakin “dekat” cerita dalam komik dengan kehidupan sehari-hari pembacanya atau semakin “akrab” suasana yang dibangun oleh cerita dalam komik maka semakin komunikatiflah komik tersebut.
Biennale Jogja XII Equator #2 memberikan kesempatan kepada komikus Indonesia untuk menghadirkan komik-komik mereka yang masih “indie” untuk disebarluaskan kepada khalayak. Hal yang berbau “indie” tidak terkecuali komik, biasanya memang dirasa lebih nikmat dihati. Kebanyakan komik yang dipamerkan di Biennale Jogja XII Equator #2 (termasuk rangkaian acaranya) adalah komik-komik "kerakyatan" yang sangat memposisikan komik sebagai objek kultural sehingga lebih memiliki arti dan makna yang “pas” karena ceritanya dikaitkan dengan fenomena-fenomena kultural atau pengalaman sehari-hari pembacanya.
Rabu, 18 Desember 2013
Sambat Terlambat
Hari ini aku bangun terlambat.
Rencana ke pameranpun tersendat.
Sampai kelas dosen menghambat.
Rasanya aku ingin sambat.
Kekasih memaafkan dengan cinta
Perihal terlambat dengan segala rasa.
Aku masih alpa dan tak enak hati padanya.
Semoga ada kesempatan untuk berikan nyata.
Sabtu, 14 Desember 2013
Memahami Dari Dua Sudut Pandang
Pada awalnya banyak pihak masih belum terlalu terusik ketika para dokter baru mengambil sikap sebatas menggelar aksi demo turun ke jalan untuk menolak kriminalisasi dan mencari dukungan atas kasus rekan seprofesinya. Tetapi pada saat para dokter mulai mengeluarkan ultimatum untuk mogok kerja alias mogok mengobati pasien sebagai bentuk solidaritas kepada rekannya, berbagai pihak mulai angkat bicara, ada yang mengatakan bahwa aksi ini dinilai terlalu ekstrim tetapi ada juga yang mengatakan aksi ini perlu supaya masyarakat tahu rasa. Tindakan para dokter yang mogok ini alhasil menuai banyak sekali pro dan kontra.
Tak heran, berkembang banyak sekali diskusi dan perdebatan di berbagai forum terkait masalah dokter vs pasien ini. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena ini memang perlu ditelaah lebih dalam. Tetapi telaah yang dilakukan bukan pada masalah duduk perkara kasusnya atau siapa benar siapa salah menurut ranah kajian hukum atau ilmu kedokteran seperti yang banyak diperbincangkan tapi lebih ke ranah refleksi diri. Kasus ini sangat pas untuk media refleksi mengingat ketidakmampuan seorang individu untuk hidup sendiri. Pada dasarnya semua pihak saling membutuhkan, maka sudah seharusnya kerukunan dalam masyarakat berbangsa dan bernegara dengan kultur komunal yang sudah mendarah daging ini dibina kembali. Melalui kaca mata sosial-budaya lewat sudut pandang yang reflektif, pertanyaan besar yang muncul adalah ketika dokter ingin masyarakat membayangkan bagaimana rasanya hidup satu hari tanpa dokter? Lalu bagaimana pula jika masyarakat ingin dokter merasakan rasanya bagaimana satu hari tanpa masyarakat?
Masyarakat awam sudah tentu tidak mengerti tentang ilmu-ilmu kedokteran terkait kode etik kedokteran, aturan-aturan medis, teknik-teknik pengobatan dan pertolongan atau indikator gejala pasca-pengobatan disebut efek samping atau mal-pratek. Kesadaran ini sudah sepenuhnya perlu dibangun di kedua pihak. Seorang dokter sebaiknya bisa lebih maklum dan lebih bersabar kepada pihak-pihak pasien yang selalu menuntut atas kesembuhan atau kelancaran pengobatannya. Begitu juga dengan pihak pasien yang notabene awam dengan ilmu-ilmu kedokteran. Sebagai awam sebaiknya juga tidak gegabah dalam membuat klaim bahwa kinerja dokter itu tidak benar. Memang tidak bisa dipungkiri perasaan was-was, cemas dan gelisah yang melanda saat melihat keluarga, saudara atau kolega menderita sakit yang tak kunjung ditangani dengan baik. Tetapi mari coba lihat dari sudut pandang dokter, pasti selalu ada pertimbangan-pertimbangan dan indikator-indikator medis tertentu yang diketahui dokter terkait apakah penanganan terbaik yang akan dilakukan untuk pasiennya. Walaupun kadang terdengar kabar bahwa ada dokter yang tidak baik tetap percayalah bahwa kebanyakkan dokter selalu mempunyai niat yang tulus untuk menolong pasiennya.
Refleksi yang dilakukan tidak cukup sampai di situ. Coba bayangkan jika masyarakat melakukan aksi balasan berupa bentuk solidaritas supaya dokter merasakan satu hari tanpa masyarakat. Aksi solidaritas ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada dokter yang melakukan aksi mogok tempo hari. Tentu hal ini menjadi tamparan bagi pihak dokter sendiri.
Imbas buruk yang ditimbulkan dari aksi balasan ini adalah , pertama, munculnya kemungkinan berlarut-larutnya perkara ini. Kedua, secara sarkas bisa dikatakan bahwa dokter tidak bisa makan selama satu hari karena tidak ada pasien yang datang. Bahkan ada guyonan lama era 90’an, dokter selalu berdoa kepada Tuhan agar setiap hari selalu ada orang yang sakit. Ketiga, munculnya penyakit sosial baru yang memperparah ketidakharmonisan hubungan antara dokter dan masyarakat. Poin ketiga merupakan implikasi paling parah dari efek balasan ini. Mengapa? Karena fakta sosial menunjukkan bahwa hubungan yang dibina antara dokter dan pasien adalah salah satu faktor terpenting dalam proses penyembuhan. Pasien terbukti selalu lebih cepat sembuh jika dokter yang menanganinya memberikan sugesti-sugesti baik yang berhubungan dengan kesembuhan. Sugesti-sugesti tersebut lebih cepat masuk ke alam bawah sadar pasien ketika hubungan antara dokter dan pasien berlangsung harmonis. Penelitian yang dilakukan oleh para antropolog menunjukkan bahwa interaksi dokter-perawat, dokter-pasien, perawat-pasien dan pemahaman dokter terhadap sudut pandang pasien terhadap penyakit yang dideritanya sendiri telah banyak menyadarkan para dokter bahwa kesembuhkan pasien juga ditentukan oleh hubungan sosial tidak hanya dicapai melalui ilmu kedokteran saja.
Dalam konteks permasalahan ini, dokter dianggap sebagai pihak yang berpendidikan tinggi dan mempunyai intelektualitas yang baik. Dokter seharusnya bisa kembali kepada hakekat profesinya yaitu “mengobati” bukan justru “membuat luka”. Seharusnya tindakkan yang dilakukan dokter bukanlah tindakan yang memperparah krisis kepercayaan masyarakat kepada dokter seperti turun ke jalan untuk berdemo dan menggelar aksi mogok tetapi justru lebih ke cara-cara “pasif efektif” yang membangkitkan rasa percaya masyarakat kepada dokter, seperti membuat stiker atau kaos bertuliskan dukungan atau solidaritas yang dibagikan kepada setiap pasien di rumah sakit atau memberikan pengobatan gratis yang diberikan kepada setiap pasien yang berobat jika pasien tersebut mau menandatangani petisi wujud dukungan kepada dokter yang terjerat kasus tersebut.
Oleh karena itu jika tindakan yang tepat dapat dilakukan sebenarnya semua pihak bisa bekerjasama untuk menggalang persatuan melawan ketidakadilan. Setelah berefleksi, retorikanya adalah, apakah kita akan lebih percaya pada dukun beranak ketika istri kita hendak melahirkan?
Jumat, 22 November 2013
Ngayogjazz 2013 - Rukun Agawe Ngejazz (Monita Tahalea, Idang Rasjidi, Oele Pattiselano Trio, Brink Man Ship (Swiss), Nita Aartsen, Bintang Indrianto, Jalu Pratidina, Jerry Pellegrino (Amerika Serikat), Kirana Big Band dan Ketzia.)
Foto-foto panggung Ngayogjazz 2013 - Monita Tahalea, Idang Rasjidi, Oele Pattiselano Trio, Brink Man Ship (Swiss), Nita Aartsen, Bintang Indrianto, Jalu Pratidina, Jerry Pellegrino (Amerika Serikat), Kirana Big Band dan Ketzia. Ngayogjazz 2013, Sidoakur, Yogyakarta © 2014 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro; All Rights Reserved
Langganan:
Postingan (Atom)