Secara denotasi foto ini dapat dibicarakan sesuai dengan apa yang terlihat secara kasat mata yaitu satu buah foto pentas kuda lumping versi anak-anak atau jaranan yang ditonton oleh banyak warga kampung. Foto ini diambil di desa Sidoakur, Godean, Yogyakarta. Tetapi secara konotasi, foto ini dapat dibicarakan dengan lebih “melampaui” apa yang ada dalam foto. Yang dimaksud dengan “melampaui” adalah foto ini dapat dibicarakan melintasi ruang dan waktu. Ruang dan waktu adalah suatu kesatuan. Ruang dan waktu bukan sebuah organisasi maupun perkumpulan eksklusif. Ruang adalah kehidupan, sebuah interaksi sosial yang terjadi dalam satu aliran waktu. Ruang adalah sebuah bentuk komunikasi dalam suatu atmosfer sosial tertentu. Ruang berbeda dengan tempat. Ruang adalah sesuatu yang hadir dalam waktu yang memberikan fasilitas untuk menyuarakan hati dan pikiran.
Mengingat ruang di Jogja, ruang di Jogja dibentuk oleh filosofi-filosofi kehidupan Jawa yang agung. “Rukun agawe santosa” adalah pepatah jawa yang berarti jika hidup rukun pasti akan sejahtera. Tata, titi, tentrem, kartaraharja adalah cita-cita hidup orang Jawa. Pada Serat Widatama, Panembahan Senopati mengatakan bahwa Jawa adalah tatanan yang saling mengenakan hati dan meluhurkan. Dasar-dasar hidup itulah yang dijunjung oleh orang Jogja sebagai orang Jawa. Tetapi harus kembali diingat bahwa unsur terpenting untuk berlangsungnya itu semua adalah buwana/bumi dan tanah atau ruang itu sendiri. Melihat fakta dewasa ini banyak tanah-tanah di Jogja sudah dijadikan dagangan. Maka jika tidak ada tanah, tidak ada kampung maka di mana semua itu dapat berlangsung? Bagaimana orang Jogja bisa berkehidupan, berkesenian dan berkerbudayaan jika ruang-ruang itu sudah “laku”?
Ruang di Jogja adalah kampung. Kampung adalah komunitas yang lebih kecil dari desa tetapi mempunyai organisasi untuk dapat hidup di suatu tempat. Jogja adalah kampung yang mengalami kepadatan sosial dan kultural. Jogja memang tidak di desain untuk menjadi kota. Berbeda dengan Eropa yang sudah “city by design”. Bisa dilihat ke belakang ketika Belanda datang melakukan ekspansi ke daerah-daerah di pulau Jawa. Ekspansi yang dilakukan Belanda tetap tidak membuat Jogja kehilangan ruang. Beberapa daerah memang diposisikan sebagai pemukiman, perdagangan maupun ruang-ruang publik. Sehingga keseimbangan sosio-kultural pada masyarakat tetap terjaga. Pada konteks ini Belanda sangat pandai dalam ber-socialengenering karena orientasi pembangunannya tidak semata-mata berorientasi pada pasar. Tidak menutup mata dengan melihat fenomena sosial yang terjadi bisa dikatakan bahwa orientasi pembangunan Jogja sekarang sangat tidak berorientasi pada sosio-kultural masyarakatnya. Jogja sedang mencari jati diri. Mau tetap menjadi kampung atau menjadi kota.
Disposisi ruang di Jawa berawal pada zaman Orde Baru, tatkala Pak Harto masih berkuasa, semangat memajukan masyarakat desa luar biasa besarnya. Salah satu cara untuk mendorong laju pertumbuhan desa, di antaranya ditempuh melalui lomba desa. Beberapa desa dilombakan. Misalnya, lomba antar desa di tingkat kecamatan. Pemenangnya akan dilombakan pada tingkat kabupaten. Seterusnya, pemenang tingkat kabupaten akan diadu dengan pemenang kabupaten se provinsi, dan akhirnya pemenang pada tingkat provinsi ini akan diajukan pada lomba tingkat nasional, mewakili propinsi masing-masing. Akhirnya pemenang lomba tingkat provinsi itu akan memperebutkan juara nasional. Diadakannya lomba ini ternyata memberikan dampak yang luar biasa bagi kebudayaan masyarakat Jogja. Disposisi ruang privat dan komunal di Jogja pun mulai terlihat. Lomba desa mengakibatkan munculnya pagar-pagar yang memberi batas jelas antar pekarangan. Sejak saat ini pemahaman masyarakat akan pentingnya ruang bagi kehidupan terlupakan. Batas antara ruang privat dan ruang publik menjadi rancu.
Melalui foto bisa direfleksikan bahwa ruang di Jogja mulai menyempit. Ada realitas lain di Jogja yang tidak tertangkap pada foto ini yang menjelaskan bahwa Jogja memang telah kehilangan banyak ruang publik. Lahan lebih banyak digunakan untuk pertokoan dan tempat parkir. Foto tersebut bisa ikut berbicara tentang hilangnya ruang-ruang di Jogjakarta. Café, mall dan tempat-tempat lain juga bisa dikatakan sebagai ruang publik tetapi bukan ruang publik seperti ini yang dibutuhkan oleh Jogja. Jogja bisa kehilangan jogjanya jika ruang “asli” di jogja telah hilang. Ruang publik café, malla dll itu tidak sepenuhnya menjadi ruang yang benar-benar publik. Artinya ruang publik ini syarat kepentingan pasar. Pembangunan banyak mall di Jogja adalah hasrat bisnis musiman yang merupakan tanggapan pebisnis-pebisnis akan potensi pasar di Jogja. Jogja membutuhkan ruang tradisional. Jogja membutuhkan ruang kampungnya kembali. Tradisi kesenian tradisional harus kembali di bangun. Kotor, ndesa dan tawar-menawar yang terjadi pada kesenian tradisional itulah interaksi dalam ruang yang sangat-sangat agung, luhur dan tak ternilai harganya.
Mari bercermin melalui foto. Jogja yang dibicarakan dalam foto adalah Jogja yang menurut beberapa orang sebagai Jogja yang sangat Jogja. Beberapa anak kecil yang sedang melakukan pentas seni tradisional kuda lumping atau jaranan yang sedang ditonton oleh banyak warga di desanya. Anak-anak sampai orang tua turut datang menonton pentas seni tradisional ini. Kehidupan berkesenian, menunjukkan kerukunan pada ruang komunal memang citra yang sangat melekat pada Jogja. Citra Jogja ini juga melekat pada citra Jawa. Jadi bicara Jogja juga kurang lebih berarti bicara Jawa begitu juga sebaliknya. Nilai hidup sejati bagi orang Jawa adalah keselarasan. Keselarasan dibentuk oleh tiga hal yaitu harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan, alam dan masyarakat. Hubungan antara manusia dengan Tuhan dibina melalui ibadah-ibadah yang dilakukan sesuai dengan kepercayaan dan penghayatan masing-masing. Memanfaatkan dan menjaga lingkungan dengan baik dan bijak adalah cara untuk menjaga hubungan antara manusia dengan alam.
Pepatah Jawa, “Hamemayu hayuning buwana” adalah membuat cantik yang sudah cantik dalam konteks alam dan lingkungan itu berarti merawat, menjaga, memanfaatkan alam dan lingkungan supaya semakin indah dan lestari bukan justru merusaknya.. Sementara hubungan antara manusia dengan manusia atau masyarakat dibina dengan menghindari konfllik terbuka dan menguasai emosi. Ruang publik tradisional pada masyarakat Jawa adalah sarana pengajaran pengendalian emosi yang sangat baik.
Bagi orang Jawa, emosi adalah seni hidup sekaligus indikator kedewasaan di mana emosi tidak diizinkan untuk melampaui tingkat tertentu. Contohnya tercermin dalam cara berbahasa orang Jawa. Inggih bagi orang Jawa mempunyai dua arti, bisa berarti “iya yang sesungguhnya” atau “iya dalam rangka menghindari konflik atas azaz menghormati perintah, tanggapan atau ide”. Sungkan yang ditunjukkan bukan untuk mempersulit komunikasi. Orang Jawa mempunyai cara-cara tersendiri untuk mengatasi sungkan tapi bukan cara yang menyinggung. Dalam konteks ini “Inggih” adalah cerminan emosi orang jawa yang kuat tapi tidak diizinkan berlebihan. Harmonisasi ketiga unsur tersebut akan menimbulkan keseimbangan jiwa yang menyebabkan ketentraman batin pada diri. Orang Jawa mempunyai anggapan bahwa ketentraman batin merupakan esensi kehidupan itu sendiri.
Masyarakat tanpa ruang publik adalah masyarakat yang sakit. Ketika Jogja mulai banyak kehilangan ruang publiknya itu artinya Jogja sedang menuju sakit. Ruang publik adalah wahana pengajaran yang sangat pas. Berpegang pada nilai membuat ruang publik tradisional hadir sebagai penjaga kelestarian kebudayaan dan penyelaras kehidupan. Sebelum saya meninggalkan lokasi pentas seni ini, saya tidak sengaja mendengar sedikit percakapan dua orang tua yang berada tidak jauh dari tempat saya berdiri. Mereka berkata, “apik yo, nek ngene iki Yojo ne urip meneh”. Dalam hati saya bertanya, “apakah bagi mereka Yojo itu telah mati?”
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi
dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ajidarma, S.G. 2002. Kisah
Mata: Perbincangan tentang Ada. Yogyakarta: Galang Press.
Appadurai, Arjun. 1986. The
Social Life of Things: Commodities in Cultural Perspectives. Cambridge:
Cambridge University Press.
Bandel,
Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks.
Yogyakarta: Jalasutra.
Bartes,
Roland. 1980. Camera Lucida: Reflection
on Photography. New York: Hill and Wang
Budiman,
Kris. 2011. Semiotika Visual : Konsep,
Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Fiske,
John. 2011. Memahami Budaya Populer.
Yogyakarta: Jalasutra
Foucault,
Michel. 1997. Sejarah Seksualitas: Seks
dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
F.P,
Marchella. 2013. Generasi 90’an.
Jakarta: POP.
Idi
Subandy Ibrahim, ed. Lifestyle Ecstasy:
Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra
Laksono,
P.M. 2009. Spektrum Budaya (Kita).
Yogyakarta: KEPEL PRESS.
Laksono,
P.M dkk. 2000. Permainan Tafsir: Politik
Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: INSIST PRESS.
Schilling,
R. 1993. The Body and Social Theory.
London: SAGE Publication.
Synnott,
Anthony. 2003. Tubuh Sosial. Yogyakarta:
Jalasutra
Tambayong,
Yapi. 2012. 123 Ayat Tentang Seni.
Bandung: Nuansa Cendekia.
Suryakusuma,
Julia. 2013. Julia’s Jihad: Tales of The
Politically, Sexually and Religiously Incorrect, Living in The Chaos of The
Biggest Muslim Democracy. Jakarta: Komunitas Bambu.
Tejo,
Sujiwo. 2013. Dalang Galau Ngetwit.
Jakarta: Imania.
Saifudin, Achmad Fedyani. 2011. Catatan Reflektif : Antropologi Sosial Budaya. Institut Antropologi Indonesia. Jakarta: Institut Antropologi
Indonesia.
Wattie,
A.M., Mundayat, A.A., Triratnawati, A., Poerwanto, H., Ahimsa-Putra, H.S.,
Laksono, P.M., Simatupang, L.L., Mulyadi., Kasniyah, N., Kutanegara, P.M.,
Semedi, P., Setiadi., Sairin, S., Gandarsih, T. 2006. Esei-Esei Antropologi
– Teori, Metodelogi dan Etnografi. Yogyakarta : Kepel Press.
Yuliadi,
Gunawan. 2005. Persepsi Pemakai Jalan
Tentang Iklan di Jalan Raya Kota Jogjakarta. Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.