Kamis, 02 Agustus 2012

Haru Biru Candra Kirana



Gerimis itu sudah sedikit reda.
Malam yang berlalu. Di stasiun kereta itu hampir pukul satu. Menyambut datangmu. Lalu ada lagu Tuhan Kirim Kamu dari pos parkir warna biru. Atmosfer malam sangat terasa. Beberapa orang sibuk dengan kreteknya. Beberapa terlelap memeluk dinginnya tubuh sendiri.
Lagu yang mendadak keluar dari kotak suara tua itu membawaku kepada suasana nostalgia lama.
Setiap lirik yang terlantun merajut romansa sekaligus mengoyak jiwa. Terbayang terang saat menghabiskan detik demi detik melihat semburat senja yang berubah perlahan. Hal yang tanpa kita sadari melarutkan duka yang ada di dalam dada. Ah, sudah lama sekali waktu itu. Terlalu cepat berlalu dan sekarang aku merindu.
Sosokmu yang telah hilang masih aku cari. Sejak kita memutuskan untuk tidak melukis pelangi berdua lagi.

Saat hidup tak menentu
Tak tentu arah tujuan
Kau datang
Kau tunjukkan aku

Demi kekuatan semesta. Untuk kamu yang melakukan perjalanan mencari jejak sang Ganesha sampai dekat Lawang Sewu sana. Bahkan terdengar kabar sampai kotanya Bung Tomo. Andai bisa berbisik padamu, pernah dengar kata rindu? Kalau belum. Akan kubisikkan untukmu dari Aceh Kecil ke Kota Lumpia sana. Meringkuk dalam kesepian yang terlalu dalam. Mulut sahabat dan kata-kata mutiaranya cuma angin lalu yang semakin membangkitkan sosok nyata harum jiwamu di pikiranku. Pikiranku diselimuti rasa hilang.

Saat harapan memudar
Anganku pun mulai hilang
Kau tetap saja membakar hatiku

Setiap hari tanpa aku sadari telah terjadi banyak sekali komparasi dalam otakku. Tentang perempuan-perempuan lain yang muncul dan tenggelam, berlalu-lalang, saling membunuh seperti perang pandhawa tanding kurawa antara bayangan satu dan bayangan lainnya. Tak ada yang menang. Hanya perlahan hilang. Setelah hilang itu kembali muncul sosokmu sebagai kekasih yang terlalu beku. Terlalu kaku untuk digantikan.

Tuhan kirim kau ke sini
Untuk kucintai
Untuk menemani hidupku

Kereta datang tepat hampir pukul satu. Aku diam menunggu kamu keluar dari dalam peron bersama senyummu yang telah aku nanti dari beberapa jam yang lalu.Kesepakatannya adalah aku memberi ruang dalam jarak dan dalam diam lalu kamu membayar dengan kurva indah di wajahmu dan ketulusannya di matamu. Kamu berjalan. Jaket hitam yang kau gunakan waktu pergi lalu tak kau kenakan lagi. Seperti semburat senja yang pernah kita lewati bersama. Senyummu cepat berlalu hilang larut bersama malam yang pekat.

Masih duduk dan merenung. Candra kirana telah terlarut.
Lagu masih terdengar sayup-sayup.
Tuhan beri kau untukku. Bintang yang kucari.
Yang tlah hilang oleh waktu.