Jumat, 16 November 2018

The Good To Be Alive






Dedicated to fellow photojournalists around the globe. God bless you.

I post this during my trip to Singapore from Malaysia at Terminal Bersepadu Selatan (TBS) in Kuala Lumpur.

"The Club",Jakarta © 2017 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved

Selasa, 03 April 2018

My Today and Tommorows


This is you when we first met. I've known for a long time that you're a good woman.
Finally life brings us to Jakarta. Then, the story that had been delayed in Jogja, should continue here. Thank you for willing to fill the empty space in my life. You are my best friend, my shelter and my other half. You mean the world to me. You make life worth living.


"Nindi",Jakarta © 2017 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved 

Selasa, 13 Maret 2018

Martha Lotang, A Mangrove Conservation Hero



A portrait of Martha Lotang, or Mama Martha as she is affectionately known, still heads the group Kelompok Cinta Persahabatan — literally, "Lovers of Friendship — is an environmental organization founded by Martha Lotang and her closest friends in Alor, East Nusa Tenggara, in 2008 — and   regularly visits elementary schools around Alor to teach the students about the importance of mangrove conservation and the danger of erosion.

At first, the group's main activity was doing clean-up on empty lands for a fee. The little money they earned, they put into a joint bank account. When World Wildlife Fund (WWF) found out about KCP two years later, they decided to train the group on the basics of mangrove conservation and how to protect the Alor coast from erosion.  

Among other prizes, Mama Martha received the prestigious Women Leadership award from the Coral Triangle Initiative in 2014. 


Photostory was published by The Jakarta Globe

"Martha Lotang", Alor © 2017 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved

Kamis, 22 Februari 2018

Women Wear Blood-Stained Kebayas

I have rarely written or posted new photos on this blog. I just posted five stories on July and August. Yes, It happens because I started focusing on photojournalism and working in Jakarta Globe, a Jakarta-based english platform news media in the last few years. After that, all of my photos are always be first-published by JG.

Today, I check my blog and feel very guilty, then I decided to start write again on this blog. Maybe I will not to post a long story or poem like I always did before. I will post my Instax photo (Instax is an instant camera by Fujifilm) once a week. During my photojournalism assingments I brought my Instax camera to photograph certain moments sometimes I gave the result to my subject or I just take it for myself. I also carry it when I attend casual events with friends. Finally,  I took a lot photos with my Instax camera.
Okay, to start this plan, I will start to showing my first instax photo here. I believe that every photo has a unique story behind so I will tell it as a short caption.




Women wear blood-stained kebayas at the National Monument, or Monas, complex in Central Jakarta during a march to protest and raise awareness about violence against women in Indonesia. This photo was taken during Women's March on Saturday (04/03) last year.
Women's March is a movement undertaken by all who concerned with gender equality, human rights and humanity issues. Not only women who participated in this march, but also men all around the world. 


"Women Wear Blood-Stained Kebayas", Jakarta © 2017 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved 
 



Minggu, 13 Agustus 2017

Mural in IFI Jakarta





New mural have painted in Institut Français Indonesia's wall. This photo was taken by Polaroid 635 CL film camera. The light setting was set at the middle to helped balancing color, reduce vivid color to get more soft but still on its real saturation.

Photostory was published by The Jakarta Globe
Off The Wall

"Off The Wall IFI", Jakarta © 2017 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved 


Kamis, 10 Agustus 2017

Self Portrait Gita



Self portrait Gita Cahyandari dibuat dengan kamera Polaroid Supercolor 636 CL di kawasan SCBD setelah pertemuan singkat di Kafe Tanamera. Foto ini adalah foto ketiga yang berhasil dibuat dengan kamera bekas buatan tahun 1983. 

Warna yang dihasilkan masih seperti dua foto sebelumnya yaitu seolah diberi tambahan filter atau tema warna sephia. 

Pengaturan tingkat terang pada kamera diatur pada posisi tengah untuk menghindari over bright. Foto sebelumnya menggunakan pengaturan tingkat terang yang tinggi. Saturasi yang dihasilkan pada foto ini terlihat lebih rendah dan lembut.

"Self Portrait Gita", Jakarta © 2017 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved 



Selasa, 08 Agustus 2017

Foto Pertama Polaroid 635 CL




Dua foto pertama yang berhasil dibuat dengan kamera bekas Polaroid Supercolor 635 CL dengan film 600 dari Imposibble Project. Foto pertama adalah foto bendera Indonesia yang sudah berkibar di rumah-rumah Jakarta karena sebentar lagi Indonesia akan merayakan hari kemerdekaannya. Foto kedua adalah potret diri saya sendiri yang difoto oleh Syaiful Arifin

Kamera ini menghasilkan warna yang menggambarkan atmosfer foto tahun 1980an. Format frame foto square polariod masih menjadi ciri khas yang unik.

Terima kasih banyak untuk Melisa yang sudah repot-repot bawa film 600 dari Beijing karena di Jakarta harganya mahal dan kamera ini fungsinya masih spekulasi jadi untuk mengurangi resiko kerugian yang besar, diputuskan untuk membeli film di Beijing dengan harga murah walau sedikit lama karena menunggu sang messenger pulang ke Indonesia.


"First & Second Frame", Jakarta © 2017 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved

Sabtu, 29 Juli 2017

Pasar Senen on Fire




Pasar Senen on fire is a pretty horrendous event of that time. I have not actually slept when the mobile phone rings because some news channels that I have subcibed popping up some breaking news notification told the legendary market in Jakarta has been destroyed by fire since 3 AM. 
I immediately prepared my camera and go to the location. Arriving there, Pasar Senen was already covered with dark fire and smoke cloud. Some buildings are even out of shape. 


I started taking photos as much as I could. This was the first time I cover a story about great fire. I saw a mother with her child running towards me while shouting about their wares. I want to help her daughter but I have to take photos and stay focus. My eyes was going to red because of the thick smoke. At that time, I hesitate, what should I do? Should I give my protective goggle to her or not. Finally, I knew that she was helped, a volunteer gave her a mask. I feel guilty but yes, never mind, I know she was finally helped and she was all right.


Photostory was published by The Jakarta Globe
Pasar Senen on Fire

"Pasar Senen on Fire", Jakarta © 2017 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved

Senin, 24 Juli 2017

Spice of Life



Aku sudah pindah dari Yogyakarta. Sekarang aku baru bisa percaya kalau kota itu memang benar-benar punya daya magis. Blog ini seolah-olah berhenti benafas setelah aku pindah dari sana. Tanpa disadari, Yogyakarta memang sebuah ruang yang sangat filosofis. Banyak hal di sana bisa jadi puisi. Dulu aku biasa membuat puisi atau cerita pendek di sini, sekarang sudah sangat jarang. Aku yakin ini terjadi karena aku sudah tidak di Jogja lagi.

Sekarang aku tinggal di Jakarta. Pikiranku sama seperti anak muda perantau lainnya yang berpikir bahwa Jakarta memang lahan kesempatan. Semua mimpi bisa mendadak diwujudkan.

Tulisan ini aku buat untuk membangkitkan naluri tulis-menulisku yang hampir hilang. Blog ini akan aku isi dengan cerita singkat tentang foto-foto jurnalistikku di Jakarta. Beberapa foto telah dimuat di halaman Jakarta Globe, mungkin beberapa tidak atau unpublished. Aku akan bercerita tentang proses pengambilan foto atau hal-hal menarik yang aku dapatkan ketika proses berfotografi bersama momen-momen foto itu dibuat. Aku rasa hal ini menjadi penting untuk dituliskan karena menjadi fotojurnalis di Jakarta membuatku melewati banyak hal dalam waktu yang relatif singkat. Foto-foto yang aku ciptakan juga berada sangat dekat dengan ibukota itu artinya foto-foto ini mendapat eksposur yang cukup untuk bicara tentang apa yang terjadi di Indonesia, tentu dengan asumsi sederhana bahwa Jakarta bisa sedikit mewakili Indonesia. 

Mari mulai bicara foto. Foto cabai itu adalah foto pertamaku yang dimuat untuk media tempatku bekerja sekarang, Jakarta Globe. Foto ini diberi judul Spice of Life oleh editorku. Foto sederhana yang tidak membutuhkan teknik tinggi ini aku ambil di Pasar Tebet saat harga cabai sedang melambung. Foto ini sebenarnya bukan tugas pertamaku untuk meliput peristiwa yang mempunyai nilai berita, namun ini pengalaman pertamaku untuk membuat foto di dalam pasar dengan sebuah beban kerja yang wajib dipenuhi. Awalnya aku agak kesulitan untuk mendapatkan foto ini tentu pendekatan a la wartawan yaitu ngobrol santai untuk mendapat banyak data dan keterangan-keterangan unik belum aku kuasai betul ditambah lirikan mata para pengunjung, penjual dan preman pasar di sana seperti menghakimi.

Aku hampir saja menarik kameraku masuk ke dalam tas dan memutuskan untuk mengambil foto dengan kamera handphone saja. Namun memang nasib baik datang padaku, seorang bapak-bapak tahu kalau aku penutur bahasa Jawa karena logat sejak lahir ini belum bisa beradaptasi dengan logat khas Jakarta. "Uwis mas nggo boso Jowo wae", katanya sambil menghitung cabai. Sejak ucapan itu aku bisa ngobrol lama dengan bapak itu sekaligus menjadi akrab dengan para pedagang cabai lain dan preman pasar yang kebanyakan juga penutur bahasa Jawa. Setelah suasa akrab muncul akhirnya aku bisa mengambil foto dengan lebih leluasa. 

Banyak foto terekam dan hasilnya lumayan bagus. Beberapa foto yang membutuhkan pendekatan khusus juga berhasil terekam, namun editor memilih foto ini untuk dimuat di Jakarta Globe. Waktu tahu ternyata hanya satu foto ini yang dimuat di halaman foto, aku tertawa pada diriku sendiri. Tapi ternyata editor punya rencana lain, akhir-akhir ini aku baru tahu kalau foto-foto yang lain digunakan untuk ilustrasi beberapa berita dengan tema yang sama. 

Ya itulah kesan pengalaman pertama menjadi fotojurnalis di Jakarta. Aku ibaratkan memang seperti makan cabai, seberapa pedas rasanya tidak ada yang tahu pasti. Tapi yang jelas itu pedas.



Spice of Life

"Spice of Life", Tebet, Jakarta Selatan © 2017 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved

Selasa, 16 Agustus 2016

Meradang


Aku sedang meradang. Tidak hanya diujung saja. Tapi sedalam-dalamnya.

"Meradang", Puncak Tomia © 2014 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved

Cuma Biru


Di mana-mana cuma biru. Aku akan terus berburu. Sampai waktu yang lupa aku.

"Cuma Biru", Kebumen © 2016 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved

Jumat, 17 Juni 2016

Wajah Lama, Kamera Lama



Kamera lama. Wajah lama. Semua lama. Yang baru hanya perasaan-perasaan dalam kenyataan-kenyataan. Atau sebaliknya. Kamera lama. Wajah lama. Semua lama. Bersyukurlah hidup jika dapat berlama-lama. Bersama semua lama yang ternyata masih sama.

 "Wajah Lama. Kamera Lama", Yogyakarta © 2016 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved

Senin, 13 Juni 2016

Buka Puasa


 Berbuka puasa adalah sebuah pertemuan, antara aku dan segala hal yang sering lupa aku syukuri. Puasa, adalah perjalanannya.

"Buka Puasa", Yogyakarta © 2016 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved

Anak Tangga


"Artists use lies to tell the truth while politicians use them to cover the truth up"

"Anak Tangga", Yogyakarta © 2016 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved 

Selasa, 19 April 2016

Lamunan

 Selamat menikmati hujan dan segala lamunannya 
Sebuah sementara dalam segala rasa di antara 



"Lamunan", Yogyakarta © 2015 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved