Senin, 24 Juli 2017

Spice of Life



Aku sudah pindah dari Yogyakarta. Sekarang aku baru bisa percaya kalau kota itu memang benar-benar punya daya magis. Blog ini seolah-olah berhenti benafas setelah aku pindah dari sana. Tanpa disadari, Yogyakarta memang sebuah ruang yang sangat filosofis. Banyak hal di sana bisa jadi puisi. Dulu aku biasa membuat puisi atau cerita pendek di sini, sekarang sudah sangat jarang. Aku yakin ini terjadi karena aku sudah tidak di Jogja lagi.

Sekarang aku tinggal di Jakarta. Pikiranku sama seperti anak muda perantau lainnya yang berpikir bahwa Jakarta memang lahan kesempatan. Semua mimpi bisa mendadak diwujudkan.

Tulisan ini aku buat untuk membangkitkan naluri tulis-menulisku yang hampir hilang. Blog ini akan aku isi dengan cerita singkat tentang foto-foto jurnalistikku di Jakarta. Beberapa foto telah dimuat di halaman Jakarta Globe, mungkin beberapa tidak atau unpublished. Aku akan bercerita tentang proses pengambilan foto atau hal-hal menarik yang aku dapatkan ketika proses berfotografi bersama momen-momen foto itu dibuat. Aku rasa hal ini menjadi penting untuk dituliskan karena menjadi fotojurnalis di Jakarta membuatku melewati banyak hal dalam waktu yang relatif singkat. Foto-foto yang aku ciptakan juga berada sangat dekat dengan ibukota itu artinya foto-foto ini mendapat eksposur yang cukup untuk bicara tentang apa yang terjadi di Indonesia, tentu dengan asumsi sederhana bahwa Jakarta bisa sedikit mewakili Indonesia. 

Mari mulai bicara foto. Foto cabai itu adalah foto pertamaku yang dimuat untuk media tempatku bekerja sekarang, Jakarta Globe. Foto ini diberi judul Spice of Life oleh editorku. Foto sederhana yang tidak membutuhkan teknik tinggi ini aku ambil di Pasar Tebet saat harga cabai sedang melambung. Foto ini sebenarnya bukan tugas pertamaku untuk meliput peristiwa yang mempunyai nilai berita, namun ini pengalaman pertamaku untuk membuat foto di dalam pasar dengan sebuah beban kerja yang wajib dipenuhi. Awalnya aku agak kesulitan untuk mendapatkan foto ini tentu pendekatan a la wartawan yaitu ngobrol santai untuk mendapat banyak data dan keterangan-keterangan unik belum aku kuasai betul ditambah lirikan mata para pengunjung, penjual dan preman pasar di sana seperti menghakimi.

Aku hampir saja menarik kameraku masuk ke dalam tas dan memutuskan untuk mengambil foto dengan kamera handphone saja. Namun memang nasib baik datang padaku, seorang bapak-bapak tahu kalau aku penutur bahasa Jawa karena logat sejak lahir ini belum bisa beradaptasi dengan logat khas Jakarta. "Uwis mas nggo boso Jowo wae", katanya sambil menghitung cabai. Sejak ucapan itu aku bisa ngobrol lama dengan bapak itu sekaligus menjadi akrab dengan para pedagang cabai lain dan preman pasar yang kebanyakan juga penutur bahasa Jawa. Setelah suasa akrab muncul akhirnya aku bisa mengambil foto dengan lebih leluasa. 

Banyak foto terekam dan hasilnya lumayan bagus. Beberapa foto yang membutuhkan pendekatan khusus juga berhasil terekam, namun editor memilih foto ini untuk dimuat di Jakarta Globe. Waktu tahu ternyata hanya satu foto ini yang dimuat di halaman foto, aku tertawa pada diriku sendiri. Tapi ternyata editor punya rencana lain, akhir-akhir ini aku baru tahu kalau foto-foto yang lain digunakan untuk ilustrasi beberapa berita dengan tema yang sama. 

Ya itulah kesan pengalaman pertama menjadi fotojurnalis di Jakarta. Aku ibaratkan memang seperti makan cabai, seberapa pedas rasanya tidak ada yang tahu pasti. Tapi yang jelas itu pedas.



Spice of Life

"Spice of Life", Tebet, Jakarta Selatan © 2017 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved

Tidak ada komentar:

Posting Komentar