Selasa, 03 Juli 2012

Dieng Culture Festival 2012, Ruwatan dan Warga yang Gigit Jari

Sedang Meranggas dalam Dingin

Nuansa Jawa-Hindu

Anak-Anak Gembel Gimbal 

Bagi saya di dunia ini kebudayaan dan tradisi daerah adalah hal yang tidak akan pernah hilang daya pikatnya. Mau bagaimanapun bentuknya kebudayaan daerah selalu mempunyai hal yang menarik untuk dilihat lebih dekat. Setiap hal yang menarik punya 'magnet'nya sendiri-sendiri dan ketertarikan seseorang akan suatu hal pasti juga berbeda-beda karena kita juga punya sudut pandang yang berbeda dalam melihat suatu masalah.

Dalam tulisan saya kali ini, saya hanya akan memberikan opini saya tentang ketertarikan saya pada salah satu tradisi kebudayaan ruwatan anak gimbal di Dieng yang dilaksanakan satu tahun sekali Sabtu (30/6) hingga Minggu (1/7).

Ruwatan yang sudah dilakukan secara turun-temurun ini sekarang dikemas dalam paket wisata yang bertajuk Dieng Culture Festival. Secara kebetulan saya datang ke acara yang dibuka dengan pembagian 4000 minuman Purwaceng ini. Selayaknya sebuah paket wisata pasti susunan acara dibuat semenarik mungkin. Maka setelah sederetan acara seperti jalan sehat, wayangan dan pesta kembang api, dihadirkan sebagai klimaksnya adalah ruwatan anak gimbal. Tidak heran banyak sekali wisatawan yang melancong ke Dieng untuk mendokumentasikan acara ini dan tidak sedikit juga beberapa wisatawan mancanegara juga ikut memeriahkan suasana.

Setelah melewati malam yang sangat dingin. Pagi hari, tepatnya pukul 10.00 WIB acara ruwatan anak gimbal dimulai. Sebelumnya anak-anak gimbal ini diarak keliling desa dan mengunjungi tepat-tepat khusus seperti candi yakni Candi Dwarawati, Kompleks Candi Arjuna, Candi Gatutkaca, Candi Bima, Sendang Maerokoco, Telaga Balaikambang, Kawah Sikidang, Telaga Warna dan Kompleks Pertapaan Mandalasari, Kali Pepek, serta Komplek Pemakaman Dieng. Setelah diarak anak-anak tadi dipotong rambut gimbalnya. Sementara itu orang tua sang anak mempunyai kewajiban yaitu memberi apa saja keinginan sang anak. Mitos yang dipercaya masyarakat mengatakan bahwa jika orang tua tidak menuruti keinginan sang anak maka rambut gimbalnya akan tumbuh lagi.

Sangat unik dan patut untuk diapresiasi bukan? Dieng dan gimbalnya memang menarik dan sukses menjadikan Dieng sebagai salah satu aset pariwisata di Indonesia tepatnya Jawa Tengah. Tetapi bagi saya yang saat itu berada di lokasi entah mengapa saya merasa kesakralan acara itu sudah hampir pudar dan tergantikan oleh semangat mencari keuntungan belaka. Pariwisata telah membuat acara ini sepertinya kurang sakral dan kurang penghayatan. Banyaknya wisatawan menjadikan acara ini sebagai lahan bisnis dadakan bagi masyarakat Dieng. "Ya harga barang di sini memang naiknya cuma hari-hari kalau ada acara ini, cuma satu tahun sekali", kata salah seorang pedagang di dekat kawah Sikidang. Di satu sisi memang baik karena bisa mendongkrak nama dan perekonomian Dieng. Tetapi di sisi lain dilihat dari sudut pandang tradisi dan kebudayaan, kita--saya--seperti kehilangan makna dari tradisi ini.

Adanya co-card peserta yang paling murah dihargai dua puluh lima ribu rupiah yang digunakan sebagai tanda agar kita bisa masuk dan melihat lebih dekat ruwatan tersebut. Tepatnya ketika anak-anak gimbal tersebut dipotong rambutnya. Mungkin dengan niat mencari keuntungan tempat ruwatan diberi batas-batas sesuai dengan co-card yang dibeli. Saya bisa memaklumi jika co-card tersebut hanya berlaku untuk para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Tetapi yang tidak bisa saya maklumi adalah co-card tersebut juga berlaku untuk warga sekitar. Warga sekitar juga ikutan tidak boleh mendekat untuk melihat lebih dekat. Beberapa orang tak berco-card mencoba memaksa masuk dengan membobol batas yang telah dibuat oleh panitia acara tetapi beberapa berhasil masuk dan beberapa berhasil diusir oleh guard-guard yang ada. Salah satu warga berteriak protes, "lha masa warga ora ulih ndeleng? Ini kan acaranya warga?", katanya berseru kepada salah satu guard yang ada di depannya.

Bayangkan saja posisi kita sebagai warga tersebut yang tidak boleh melihat acara tradisi di daerahnya sendiri. Apalagi jika kita adalah kerabat orang tua atau kerabat anak yang sedang diruwat tetapi kebetulan tidak mempunyai dua puluh lima ribu untuk sebuah akses. Hal ini tidak terjadi pada satu atau dua orang warga asli saja tetapi berpuluh-puluh. Rasanya miris bukan?


Kebudayaan dan pariwisata memang bisa menghasilkan keuntungan. Tetapi tetaplah berpegang teguh pada makna dan kesakralan. Tradisi itu berlanjut karena warga yang dengan kearifan lokalnya percaya akan makna tradisi itu. Oleh karena itu tetap jaga hati warga sekitar agar tradisi itu tetap abadi dan harmonis.



Anak-Anak Gembel Gimbal 

Anak-Anak Gembel Gimbal 


Sesajian

Deretan Pengabulan

 Anak Perawan Oranye


 
Mereka Bilang Saya Tua - Aku Bisa Melihat Gratis


 Tabuhan Iringan 





Islam - Hindu, Asimilasi Sempurna, Terimakasih untuk Sunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar