Kelas pengantar antropologi setiap hari Kamis adalah kelas yang bisa dibilang paling ditunggu oleh para mahasiswa antropologi, kelas yang dijoki oleh Bapak Laksono itu adalah kelas yang nge-jazz jika itu ibarat genre musik karena seperti jazz sendiri yang ringan tapi menyimpan nada-nada yang 'tidak biasa' sama seperti kelas Pak Laksono ini santai tapi serius dan berbobot. Hari ini berliau bercerita tentang terpilihnya beliau untuk menjadi juri dalam acara Biennale, keamatiran beliau yang beliau anggap amatir adalah sekedar pecinta malah menjadi ketertarikan sendiri, sehingga panitia Biennale memilih beliau menjadi juri. Beliau juga menyarankan agar kami sebagai mahasiswa budaya, segera meluncur, melihat dan berpartisipasi dalam meramaikan acara-acara di Biennale tersebut. Hanya sebagai intermezzo beliau menyarankan kami datang ke Biennale karena selain dedikasi terhadap seni dan budaya juga sebagai bentuk 'penghormatan' atas dipilihnya beliau menjadi juri. Akhirnya saya dan teman-teman saya berkunjung ke Biennale Jogja untuk pertama kalinya, ini adalah Biennale yang ke XI. Saya datang saat malam pembukaan karena kebetulan kakak tingkat saya adalah pengisi acara pembukaan Biennale di JNM. Kakak kelas tingkat saya itu adalah Lani (seorang soloist) dan Oscar (sebuah keyboard) yang tergabung dalam grup musik bernama FRAU.
Berpose di depan Neti-Neti karya Anita Dube
Sebagai
mahasiswa antropologi tingkat satu yang sedang belajar untuk menjadi antropolog
yang baik, selain rajin, banyak membaca, mengikuti seminar dan kuliah,
mengunjungi pameran seni dan kebudayaan tentunya bisa menjadi sarana belajar
yang baik selain beberapa hal yang disebut di atas.
Antropolog
seperti sudah dituntut untuk melatih mata mereka menjadi mata yang tidak biasa,
yaitu menjadi mata yang bisa melihat hal-hal sepele yang jarang dilihat orang
lain. Seperti kita ketahui, pameran seni dan kebudayaan sudah pasti selalu
menyajikan karya-karya seni seniman-seniman besar dan ternama. Karya-karya seni
yang ditampilkan sudah pasti estetik dan maknatif. Tidak sedikit seniman yang selalu bermain
dalam ranah kreatif, imajinatif dan penuh fantasi dalam menghasilkan suatu
karya seni.
Biennale
adalah acara tahunan yang berbau seni dan kebudayaan. Salah satu acara Biennale
selain seminar adalah pameran seni. Beberapa karya seni diangkat dalam pameran yang diadakan di Jogja National Museum ini, dari seni rupa,
seni lukis, bahkan seni fotografi dan filmografi. Dengan mengusung tema Shadow
Lines – Indonesia Meets India, para seniman dengan sukses menyajikan beberapa
karya seni yang menurut saya patut diberi apresiasi lebih. Sebagai contoh
Shilpa Gupta dengan Untitled ( There is No Border Here)-nya yang mengusung tema
kebebasan dan tanpa marjin, menurut saya karya seni ini sangat maknatif
mengingat beberapa masalah diskriminatif yang dewasa ini terjadi. Secara
tersirat Shilpa mengungkapkan bahwa sebuah kebebasan (yang dilambangkan dengan
bendera) justru bisa menjadi sebuah marjin dan batas-batas dalam kehidupan
(masyarakat). Bendera tersebut seperti (secara tidak langsung) membuat kita
terkotak-kotak dan menjadi kelompok tertentu. Selain karya Shilpa masih banyak
karya-karya seniman lain yang tak kalah mengesankan. Ada film etnografi yang
menceritakan India, sebuah video orang berenang dengan tali yang mengikat
tubuhnya di sebuah batu dan karya seni dengan judul Bird Prayers #2 yang
menceritakan bahwa sekarang religi hanyalah sebuah ‘topeng’ belaka dan sudah terkontaminasi
dengan unsur yang tidak berbau religi dan maknanya yang seharusnya suci sudah tercemar.
Bacalah karya Titarubi
Maka mulai sekarang, bacalah!
Lomba Artikel Blog Biennale Jogja XI
Halo, tulisan ini diikutkan saja ke lomba menulis Artikel Blog Biennale Jogja XI :)
BalasHapusInfo lihat di sini: http://lomba.biennalejogja.org/lomba-artikel-blog-biennale-jogja-xi
Siapa tau menang kan lumayan heheheh
haha siap, akan saya coba :D
BalasHapus