Sampai pada saat ini definisi kebudayaan yang saya tahu
dan yang paling saya pahami adalah definisi kebudayaan dari Koentjaraningrat yang
mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar. Tetapi setelah saya membaca beberapa buku dan artikel yang
berisi tentang definisi kebudayaan dari beberapa ahli antropologi yang telah melakukan
penelitian dan studi tentang kebudayaan secara menyeluruh maka bermunculanlah
macam-macam definisi tentang kebudayaan, contohnya Geertz
secara jelas mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol
yang disusun..dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan
dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; secara
historik diwujudkan di dalam bentuk -bentuk siambolik melalui sarana di mana
orang-oarang mengkomunikasikan, mengabadikannya, suatu pola makna yang
ditransmisikan dan menmgembangkan pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah
kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber
informasi yang ekstrasomatik” lalu definisi lain tentang kebudayaan dari Edward
Burnett Tylor mengartikan kebudayaan sebagai keseluruan kompleks pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat, dengan
demikian menurut Tylor kebudayaan mencakup segala sesuatu yang diperoleh atau
yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Baru saja beberapa
definisi kebudayaan yang saya baca sudah membuat saya bingung sekaligus
mengerti bahwa kebudayaan adalah hal yang
mempunyai pengertian dan definisi yang tidak sederhana, dinamis dan bias.
Apalagi pemikiran antropolog muda dewasa ini yang dituntut untuk berusaha
mencari definisi baru tentang konsep kebudayaan dan bagaimana konsep kebudayaan
itu bekerja.
Jika melihat beberapa
peristiwa dalam kehidupan saya sehari-hari, mengambil contoh sederhana dalam
hal gesture tubuh. Saya pribadi sejak kecil telah terbiasa entah secara
langsung atau tidak langsung ‘belajar’
dari orang tua, teman, orang lain, bahkan dari media tentang gesture tubuh
sederhana ketika seseorang hendak menyatakan dirinya baik-baik saja, siap,
terkendali dengan mengacungkan jempol ke atas. Saya mengenal gesture itu
sebagai gesture yang mempunyai makna positif dan makna itu saya dapatkan dari proses
‘belajar’ tadi. Bagaimana saat saya tumbuh dan berkembang, saya mulai memahami
makna tersebut. Gesture jempol tadi otomatis telah membudaya dalam diri saya. Berbeda
dengan di Indonesia, beberapa daerah di timur tengah justru sebaliknya, mereka
menganggap mengacungkan jempol adalah suatu tindakan yang bermakna kasar,
negatif dan ofensif karena berhubungan dengan anus. Sementara pada zaman dahulu
di Mesir mengacungkan jempol adalah symbol ancient phallic untuk virilitas maskulin.
Jadi adalah suatu pantangan bagi seorang wanita untuk mengacungkan jempol karena jempol adalah symbol kejantanan seorang
pria. Dari segi spasial dan temporal kebudayaan bisa berbeda makna, walaupun
dicontohkan dengan sebuah acungan jempol saja. Dengan demikian, dengan memikirkan
secara sederhana sesuai dengan kemampuan pemikiran saya saat ini sebagai
mahasiswa antropologi tingkat awal yang belum melakukan penelitian apapun,
definisi kebudayaan adalah bahwa kebudayaan bukanlah benda mati dan statis yang
jatuh begitu saja jatuh dari langit dan kita secara gamblang tanpa berpikir
panjang menerimanya sebagai warisan turun temurun. Kebudayaan bukan pula
sesuatu yang harus dilestarikan sebagaimana benda-benda kuno, arca, atau candi.
Kebudayaan adalah dialog-dialog yang kreatif, sesuatu yang dinamis, mengalir
teratur di sela-sela kreatifitas manusia dalam menjawab semua dinamika di
zamannya.
Fakta
kebudayaan adalah sebuah fenomena kreatifitas manusia yang menjawab semua
dinamika pada zamannya adalah dewasa ini telah terjadi semacam penolakan
terhadap tradisi budaya masa lalu dikarenakan karena kehidupan dan tradisi lama
penuh takhayul dan kebenaran bukan berasal dari tradisi dan otoritas melainkan
dari akal budi. Contohnya animisme dan dinamisme, jarang sekali orang-orang
pada tahun 2011 ini menganut sistem kepercayaan tersebut. Apalagi orang zaman
sekarang sudah berpikir lebih rasional sehingga semakin tidak mempercayai
sistem kepercayaan itu. Faktor pendidikan, pergaulan sosialisasi dan komunikasi
membuat orang berpikir lebih kreatif dan dinamis. Contoh lain adalah fenomena budaya
instan yang kerap terjadi baru-baru ini orang lebih suka untuk membuat sesuatu
yang lebih manusiawi dan cenderung sederhana. Orang menjadi kurang ekspresif
dan aktif. Semua bisa dilakukan secara instan. Contoh pada era Si Doel Anak
Sekolahan para sarjana yang mencari kerja selali dengan busana yang sangat rapi dan
necis, oleh karena itu mereka menggunakan dasi yang dibentuk serapi mungkin secara
manual dengan simpul-simpul tertentu dan sangat berseni. Tapi zaman sekarang
banyak sekali dijual di mall-mall dasi yang langsung ‘jadi’ yang hanya dengan
mengalungkannya sudah terpasang rapi di leher kita. Itulah bukti bahwa
kebudayaan bukanlah sebuah warisan saja tetapi juga hasil dari berpikir kreatif
dan berkembang. Di saat semua orang dituntut untuk serba cepat dan ‘in time’
bukan lagi on time, maka di area inilah kebudayaan itu ikut berkembang.
Konstruktivisme telah terjadi di sana-sini. Beberapa fakta di ataslah yang
membuat saya berasumsi bahwa kebudayaan adalah bukan suatu yang statis dan
secara langsung kita terima tapi kebudayaan adalah
dialog-dialog yang kreatif, sesuatu yang dinamis, mengalir teratur di sela-sela
kreatifitas manusia dalam menjawab semua dinamika di zamannya.
Sebagai
mahasiswa antropologi dalam mempelajari antropologi saya berharap saya suatu
saat nanti dapat memahami makna, arti, definisi kebudayaan yang benar-benar
esensial dan orisinal. Untuk mencapai esensi itu sebagai antropolog sejati pada
dasarnya dan sudah seharusnya kita melakukan banyak perjalanan penelitian
karena dengan itu kita bisa memahami sebuah arti kebudayaan. Semakin banyak
kita bertemu dan mempelajari liyan maka semakin baik kita merefleksikan itu
kepada kehidupan kita.
Artikel oleh : Mas Agung Wilis Yudha Baskoro
Foto : Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; D. Gutomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar