Jumat, 25 November 2011

Definisi Awal Kebudayaan

            Sampai pada saat ini definisi kebudayaan yang saya tahu dan yang paling saya pahami adalah definisi kebudayaan dari Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Tetapi setelah saya membaca beberapa buku dan artikel yang berisi tentang definisi kebudayaan dari beberapa ahli antropologi yang telah melakukan penelitian dan studi tentang kebudayaan secara menyeluruh maka bermunculanlah macam-macam definisi tentang kebudayaan, contohnya Geertz secara jelas mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang disusun..dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; secara historik diwujudkan di dalam bentuk -bentuk siambolik melalui sarana di mana orang-oarang mengkomunikasikan, mengabadikannya, suatu pola makna yang ditransmisikan dan menmgembangkan pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik” lalu definisi lain tentang kebudayaan dari Edward Burnett Tylor mengartikan kebudayaan sebagai keseluruan kompleks pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat, dengan demikian menurut Tylor kebudayaan mencakup segala sesuatu yang diperoleh atau yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Baru saja beberapa definisi kebudayaan yang saya baca sudah membuat saya bingung sekaligus mengerti bahwa kebudayaan adalah hal yang mempunyai pengertian dan definisi yang tidak sederhana, dinamis dan bias. Apalagi pemikiran antropolog muda dewasa ini yang dituntut untuk berusaha mencari definisi baru tentang konsep kebudayaan dan bagaimana konsep kebudayaan itu bekerja.

Jika melihat beberapa peristiwa dalam kehidupan saya sehari-hari, mengambil contoh sederhana dalam hal gesture tubuh. Saya pribadi sejak kecil telah terbiasa entah secara langsung  atau tidak langsung ‘belajar’ dari orang tua, teman, orang lain, bahkan dari media tentang gesture tubuh sederhana ketika seseorang hendak menyatakan dirinya baik-baik saja, siap, terkendali dengan mengacungkan jempol ke atas. Saya mengenal gesture itu sebagai gesture yang mempunyai makna positif dan makna itu saya dapatkan dari proses ‘belajar’ tadi. Bagaimana saat saya tumbuh dan berkembang, saya mulai memahami makna tersebut. Gesture jempol tadi otomatis telah membudaya dalam diri saya. Berbeda dengan di Indonesia, beberapa daerah di timur tengah justru sebaliknya, mereka menganggap mengacungkan jempol adalah suatu tindakan yang bermakna kasar, negatif dan ofensif karena berhubungan dengan anus. Sementara pada zaman dahulu di Mesir mengacungkan jempol adalah symbol ancient phallic untuk virilitas maskulin. Jadi adalah suatu pantangan bagi seorang wanita untuk mengacungkan jempol  karena jempol adalah symbol kejantanan seorang pria. Dari segi spasial dan temporal kebudayaan bisa berbeda makna, walaupun dicontohkan dengan sebuah acungan jempol saja. Dengan demikian, dengan memikirkan secara sederhana sesuai dengan kemampuan pemikiran saya saat ini sebagai mahasiswa antropologi tingkat awal yang belum melakukan penelitian apapun, definisi kebudayaan adalah bahwa kebudayaan bukanlah benda mati dan statis yang jatuh begitu saja jatuh dari langit dan kita secara gamblang tanpa berpikir panjang menerimanya sebagai warisan turun temurun. Kebudayaan bukan pula sesuatu yang harus dilestarikan sebagaimana benda-benda kuno, arca, atau candi. Kebudayaan adalah dialog-dialog yang kreatif, sesuatu yang dinamis, mengalir teratur di sela-sela kreatifitas manusia dalam menjawab semua dinamika di zamannya.

Fakta kebudayaan adalah sebuah fenomena kreatifitas manusia yang menjawab semua dinamika pada zamannya adalah dewasa ini telah terjadi semacam penolakan terhadap tradisi budaya masa lalu dikarenakan karena kehidupan dan tradisi lama penuh takhayul dan kebenaran bukan berasal dari tradisi dan otoritas melainkan dari akal budi. Contohnya animisme dan dinamisme, jarang sekali orang-orang pada tahun 2011 ini menganut sistem kepercayaan tersebut. Apalagi orang zaman sekarang sudah berpikir lebih rasional sehingga semakin tidak mempercayai sistem kepercayaan itu. Faktor pendidikan, pergaulan sosialisasi dan komunikasi membuat orang berpikir lebih kreatif dan dinamis. Contoh lain adalah fenomena budaya instan yang kerap terjadi baru-baru ini orang lebih suka untuk membuat sesuatu yang lebih manusiawi dan cenderung sederhana. Orang menjadi kurang ekspresif dan aktif. Semua bisa dilakukan secara instan. Contoh pada era Si Doel Anak Sekolahan para sarjana yang mencari kerja  selali dengan busana yang sangat rapi dan necis, oleh karena itu mereka menggunakan dasi yang dibentuk serapi mungkin secara manual dengan simpul-simpul tertentu dan sangat berseni. Tapi zaman sekarang banyak sekali dijual di mall-mall dasi yang langsung ‘jadi’ yang hanya dengan mengalungkannya sudah terpasang rapi di leher kita. Itulah bukti bahwa kebudayaan bukanlah sebuah warisan saja tetapi juga hasil dari berpikir kreatif dan berkembang. Di saat semua orang dituntut untuk serba cepat dan ‘in time’ bukan lagi on time, maka di area inilah kebudayaan itu ikut berkembang. Konstruktivisme telah terjadi di sana-sini. Beberapa fakta di ataslah yang membuat saya berasumsi bahwa kebudayaan adalah bukan suatu yang statis dan secara langsung kita terima tapi kebudayaan adalah dialog-dialog yang kreatif, sesuatu yang dinamis, mengalir teratur di sela-sela kreatifitas manusia dalam menjawab semua dinamika di zamannya.

Sebagai mahasiswa antropologi dalam mempelajari antropologi saya berharap saya suatu saat nanti dapat memahami makna, arti, definisi kebudayaan yang benar-benar esensial dan orisinal. Untuk mencapai esensi itu sebagai antropolog sejati pada dasarnya dan sudah seharusnya kita melakukan banyak perjalanan penelitian karena dengan itu kita bisa memahami sebuah arti kebudayaan. Semakin banyak kita bertemu dan mempelajari liyan maka semakin baik kita merefleksikan itu kepada kehidupan kita.

Artikel oleh : Mas Agung Wilis Yudha Baskoro
Foto : Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; D. Gutomo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar