Kamis, 24 Mei 2012

Ketika Ngapak Melebur - You Are What You Say


Contoh Asimilasi Budaya - Adaptasi Kultural Bahasa

Ngobrol adalah hal yang tidak bisa dihindari di kehidupan sehari-hari. Semua orang yang terlahir dan pernah hidup di dunia tanpa kecuali pasti pernah ngobrol atau bercakap-cakap dengan sesamanya. Berhubung ngobrol ini terjadi pada siapa saja maka dari itu kedua teman saya ini juga tidak bisa lepas dari ngobrol. 

Ngobrol itu akan terasa nyaman jika interaktif dan komunikatif. Interaktif jika ngobrol atau komunikasi dua arah atau lebih ini dilakukan dengan sangat baik dan masing-masing lawan bicara mendapat umpan balik. Sementara itu komunikatif jika ngobrol ini dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti baik bahasa ibu (Bahasa Indonesia) atau bahasa daerah lokal. Jika salah satu dari dua hal tersebut tidak dipenuhi biasanya akan terjadi miss komunikasi atau salah pengertian dalam ngobrol tersebut. 

Miss komunikasi ini sering terjadi pada kedua teman saya yang berasal dari Kebumen ini. Sudah bukan hal baru lagi bahwa orang Kebumen dan bahasa ngapak-nya adalah suatu yang sangat melekat dan tidak bisa dipisahkan. Penutur asli bahasa ngapak atau banyumasan ini sering diejek, dihina dan tidak sedikit yang disampingkan/dikucilkan dari pergaulan jika sedang ngobrol dengan orang-orang yang dari luar kota Kebumen, seperti Yogyakarta, Jakarta dan Semarang. Oleh karena itu mereka mempunyai cara yang menurut mereka efektif untuk bisa tetap eksis dalam pergaulan mereka yaitu adaptasi kultural dalam bahasa mereka atau dengan kata lain asimilasi bahasa.

Contohnya M, teman saya dari Kebumen yang sekarang berkuliah di Yogyakarta. Dia pernah terjerat kasus pertengkaran gara-gara diejek ngapak dan Kebumen-nya. Bagi seorang penutur ngapak asli seperti M, beradaptasi dengan bahasa Jawa Jogja terasa sangat sulit. “Maning dadi meneh, inyong dadi aku, kiye dadi kuwi atau iku”, kata M ketika curhat masalah adaptasi kulturalnya ini. Beda orang beda masalah. Serupa tapi tak sama. A, teman saya asli Kebumen yang hijrah ke Jakarta juga mempunyai masalah dengan kengapakannya. Teman-temannya di ibukota merasa ilfeel (ilang feelling = kehilangan simpati) ketika berkenalan dan tahu bahwa bahasanya agak-agak aneh. Cengkok-cengkok tertentu dalam bahasa ngapak memang agak susah disamarkan. Mengetahui hal ini A juga melakukan asimilasi budaya, adaptasi kultural bahasa seperti yang dilakukan M. Bahasa ngapak yang awalnya menjadi bahasa sehari-harinya mau tidak mau mulai dipudarkan dan diganti dengan Bahasa Indonesia campur bahasa gaul Jakarta. “Ya ora nganggo Lu Gue. Aku Kamu wae cukup sing penting ora keton ngapake”, kata A. “Tapi walau ngono tetep wae aku ora ulih lali karo Kebumen lan ngapake Yud”. Tambahnya dalam percakapannya dengan saya ketika menikmati kopi hangat di Kebumen.


Daftar Pustaka

Poerwanto, Hari Prof (2006). Hand Out – Dinamika Hubungan Hubungan Antar Suku-Bangsa. Yogyakarta

Wattie, A.M., Mundayat, A.A., Triratnawati, A., Poerwanto, H., Ahimsa-Putra, H.S., Laksono, P.M., Simatupang, L.L., Mulyadi., Kasniyah, N., Kutanegara, P.M., Semedi, P., Setiadi., Sairin, S., Gandarsih, T (2006). Esei-Esei Antropologi – Teori, Metodelogi dan Etnografi. Yogyakarta : Kepel Press.

Saifudin, Achmad Fedyani. 2011. Catatan Reflektif : Antropologi Sosial Budaya. Institut Antropologi Indonesia : Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar