Etnofotografi
adalah mempelajari kebudayaan melalui fotografi sebagai citra visual. Citra
visual menghadirkan properti-properti kebudayaan. Kehadiran properti-properti
tersebut memudahkan kita untuk “melihat” atau mengaktualisasi kebudayaan.
Kebudayaan pada dasarnya adalah mengenai identitas. Identitas dibangun melalui
citra-citra visual. Jadi etnofotografi adalah dialektika visual dan unsur-unsur
lain dalam identitas
Situasi
dialektik memungkinkan kita untuk menjadikan visual menjadi teks atau dengan
kata lain membaca citra visual. Melalui etnofotografi, foto, gambar dan teks
saling berdialektika.
Suatu
citra visual dapat menimbulkan signifikasi atau pemaknaan. Makna-makna yang
muncul sebenarnya tidak berasal dari foto atau gambar itu sendiri tetapi muncul
pada otak atau imajinasi orang yang melihat foto. Beretnofotografi memposisikan
fotografi bukan hanya sebagai rekaman peristiwa tapi sebagai citra tanpa kata
di mana sebuah foto bukan bukti realita tapi realita baru.
Realita
baru yang “dibaca” dalam foto merupakan sebuah “permainan tafsir” yang rasional
dan masuk akal karena dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang reflektif karena
pengalaman bukan suatu yang terisolasi. Pengalaman tidak tersusun oleh
kesendirian tetapi dari relasi-relasi dari hal-hal yang telah terjadi
sebelumnya. Pembacaan ini bukanlah untuk menduplikasi citra melainkan untuk
mengeksplisitkan atau menegaskan seperangkat konotasi dalam citra (foto) yang
sebelumnya sudah ada (implisit). Etnofotografi belajar tentang proses reflektif
dari sebuah foto atau gambar yang kita lihat. Melihat foto bukan melalui “kamar
gelap” (camera obscura) tapi melalui “kamar terang” (camera lucida). Melihat
foto adalah proses menghubungkan pengalaman dengan akal yang kemudian
direfleksikan karena menemukan diri sendiri di dalam foto atau dengan kata lain
menjadikan fotografi sebagai cermin.
Roland
Barthes memberikan beberapa istilah untuk etnofotografi dalam bukunya yang
berjudul Camera Lucida. Istilah-istilah itu di antaranya, operator adalah orang
yang memotret atau fotografer, spectrum adalah satu frame foto, yang dihadapkan
oleh operator, stadium adalah gambar rata-rata atau keseluruhan, punctum adalah
detail dari suatu foto, diibaratkan punctum seperti suatu yang lari menusuk perasaan
kita dan yang terakhir adalah spectator yaitu penonton foto.
Punctum
mempunyai kekuatan yang besar sehingga mengalahkan gambar rata-rata. Antropolog
mempunyai kewajiban untuk setia pada detail. Argumentasi yang dibangun
berdasarkan atas detail bukan pada suatu pernyataan pukul rata. Detail dengan
detail yang berelasi itu tidak dilihat denotasinya tapi dimitoskan atau
dibicarakan konotasinya.
Gambar 1 Musisi Jazz dari Swiss dan Jepang hadir di Tumpengan
Pra-Acara Ngayogjazz 2013 di rumah Limasan, Desa Wisata Sidoakur, Yogyakarta .
Secara sederhana dalam
beretnografi cara membaca foto seorang etnofotografer berbeda dengan jurnalis
maupun fotografer. Jurnalis biasanya hanya membaca sebuah foto lewat studiumnya
saja (gambar rata-rata). Caption yang diberikan adalah caption dari sudut
pandang jurnalistik. Lalu fotografer biasanya hanya membaca foto lewat
teknis-teknis pengambilan gambar dll. Tetapi seorang etnofotografer membaca
sebuah foto dengan melakukan pemaknaan antara—dialektika—studium (gambar
rata-rata) dengan punctum (gambar detail yang menusuk hati). Cara paling mudah
untuk melihat punctum adalah setelah melihat sebuah foto dengan seksama, lalu
pejamkan mata. Ketika memejamkan mata bagian paling diingat oleh otak secara
otomatis akan muncul. Itulah punctumnya.
Gambar 2 Cara Melihat Foto Menurut Roland Barthes (punctum setiap orang bisa berbeda-beda)
Punctum yang terlihat digunakan untuk menyusun argumentasi. Argumentasi yang disusun berdasarkan interaksi—dialektika—antara punctum dan stadium. Dialektika ini bekerja untuk memperluas “perbincangan”. Argumentasi yang tersusun pada foto pada gambar 1, secara “etnofografi” dapat diperbincangkan sampai ke ranah yang melampaui yang tampak dalam gambar. Ranah yang dapat dilampaui adalah etnik, agama, gender, golongan, lokalitas, pariwisata, glokalisasi, gotong royong, keikhlasan, kerukunan sampai ke filosofi tumpengan dll. Pada akhirnya argumentasi yang tersusun digunakan untuk membuat benang merah bukan untuk membuat klaim.
Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa pemaknaan atau suatu tafsir bisa keliru? Atau berbeda? Hal seperti ini terjadi karena operator sebagai fotografer bekerja memotong peristiwa (melakukan fiksasi). Oleh karena itu foto terpenggal dan menjadi bagian yang tidak utuh. Foto lebih banyak menyembunyikan daripada memperlihatkan. Foto merekam banyak tapi juga memotong banyak itulah ironi dan paradox dalam fotografi Spectator sebagai penafsir foto menghadapi kondisi dan jebakan-jebakan semacam ini. Oleh karena itu makna, tafsir dan pesan yang disampaikan tentang sesuatu harus benar-benar dipilah dan diolah dengan sangat baik dan teliti.
Daftar Pustaka
Ajidarma, Seno Gumira. 2005. Kisah Mata. Jakarta: Galang Press.
Barthes, Roland. 1981. Camera Lucida: Reflections on Photography. France: Hill and Wang.
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual : Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Pink, Sarah. 2007. Doing Visual Ethnography. London: Sage Publication Ltd.
(tulisan pernah dimuat di http://antropologivisual.wordpress.com/2013/12/05/beretnofotografi/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar