Jumat, 10 Januari 2014

Gatotkaca Gantung - Kebudayaan Sudah Kehilangan Daya


Foto ini diambil pada acara peletakan batu bata pertama pada rangkaian acara proyek pembangunan gedung hotel Mataram City di Jalan Tentara Pelajar Yogyakarta. Acara yang dihadiri beberapa pejabat penting di Jogja yang tergabung dalam proyek pembangunan hotel-hotel baru di Jogja ini berlangsung sangat meriah karena selain peletakan batu bata pertama beberapa acara pendukung seperti memecahkan rekor muri dengan memanjat gedung hotel setengah jadi ini dan lomba foto model di area sekitar pembangunan gedung. Lalu yang menjadi acara puncak adalah pentas seni sendratari dengan lakon Gatotkaca Gandrung.
Pada foto tampak dengan jelas sang lakon Gatotkaca yang sedang gandrung hendak mendarat dari terbangnya. Gatotkaca selalu digambarkan sebagai sosok yang gagah perkasa. Kuat, otot kawat balung wesi. Tetapi yang sebenarnya patut dilihat adalah Gatotkaca tersebut sedang digantung. Jadi ranah denotasi menjadi layak dikonotasikan. Gatotkaca tersebut adalah sosok yang lemah dan tidak berdaya. Mengapa? Karena ia tidak sepenuhnya digambarkan sebagai yang kuat karena yang menggantungnya adalah sesuatu yang menguasainya yaitu derek pembangun hotel. Hidup sang Gatotkaca sangat bergantung pada derek itu. Dapat dikatakan bahwa Gatotkaca adalah representasi Jogja yang lemah tanpa daya di hadapan kekuasaan pembangunan yang paradox. Pembangunan yang membangun sekaligus menghancurkan.
Pembangunan Jogja yang sangat kurang memperhatikan aspek sosio-kultural masyarakatnya dapat berakibat fatal. Bisa dikatakan bahwa Jogja adalah mini-Indonesia—dengan berbagai alasan kesamaan keadaan konteks kehidupan masyarakatnya yang multikultur—jadi dapat dianalogikan Jogja akan mengalami hal yang sama ketika pembangunan-pembangunan dilakukan tidak berorientasi pada konteks kehidupan kebudayaannya. Salah satu bentuk pembangunan di Indonesia yang paling terepresi pada kehidupan masyarakat saat ini salah satunya adalah nasionalisasi bahasa Indonesia. Sebagai bangsa yang telat kritis, akibat dari nasionalisasi bahasa Indonesia baru disadari beberapa tahun bekalangan ini, yaitu beberapa bahasa lokal mulai kehilangan penuturnya. Dalam konteks Jogja dapat disinyalir juga mempunyai implikasi yang sama dengan itu. Ketika pembangunan dilakukan dengan mengusung isu-isu modernisasi, meng-kota-kan Jogja, me-metropolis-kan Jogja maka dampak negatif yang mungkin muncul adalah Jogja kehilangan ketradisionalannya. Aspek-aspek tradisional yang memungkinkan untuk hilang adalah kebudayaan gotong royong yang komunal, kerukunan-kerukunan masyarakatnya, pasar-pasar dan kesenian tradisionalnya.
Orang-orang yang datang pada acara itu beberapa sibuk memotret mendokumentasikan pentas seni sendratari ini, beberapa memotret peristiwa-peristiwa lain seperti pengunjung atau kerumunan-kerumunan yang menyaksikan acara ini, beberapa ada yang berbincang-bincang akan seperti apa bentuk gedung ini. Tapi sangat sedikit orang—yang saya temui—yang mengungkapkan kekhawatirannya terhadap Jogja. Foto memang tidak bisa mengungkapkan isi hati manusia-manusia yang terfiksasikan di dalamnya tapi sebagai operator saya merasa bisa mengungkap apa yang sudah ada dan belum terungkap yang dikombinasikan dengan pengalaman ber’ada’ di lokasi saat itu. Tidak ada yang sadar bahwa digantungnya sang Gatotkaca adalah penggambaran kalahnya kebudayaan kita dengan rezim pembangunan Jogja. Inilah tanda-tanda kondisi di mana ruang-ruang kebudayaan di Jogja mulai mudah disingkirkan.


Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.
Ajidarma, S.G. 2002. Kisah Mata: Perbincangan tentang Ada. Yogyakarta: Galang Press.
Appadurai, Arjun. 1986. The Social Life of Things: Commodities in Cultural Perspectives. Cambridge: Cambridge University Press.
Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Bartes, Roland. 1980. Camera Lucida: Reflection on Photography. New York: Hill and Wang
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual : Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra
Foucault, Michel. 1997. Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
F.P, Marchella. 2013. Generasi 90’an. Jakarta: POP.
Idi Subandy Ibrahim, ed. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra
Laksono, P.M. 2009. Spektrum Budaya (Kita). Yogyakarta: KEPEL PRESS.
Laksono, P.M dkk. 2000. Permainan Tafsir: Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: INSIST PRESS.
Schilling, R. 1993. The Body and Social Theory. London: SAGE Publication.
Synnott, Anthony. 2003. Tubuh Sosial. Yogyakarta: Jalasutra
Tambayong, Yapi. 2012. 123 Ayat Tentang Seni. Bandung: Nuansa Cendekia.
Suryakusuma, Julia. 2013. Julia’s Jihad: Tales of The Politically, Sexually and Religiously Incorrect, Living in The Chaos of The Biggest Muslim Democracy. Jakarta: Komunitas Bambu.
Tejo, Sujiwo. 2013. Dalang Galau Ngetwit. Jakarta: Imania.
Saifudin, Achmad Fedyani. 2011. Catatan Reflektif : Antropologi Sosial Budaya. Institut Antropologi Indonesia. Jakarta: Institut Antropologi Indonesia.
Wattie, A.M., Mundayat, A.A., Triratnawati, A., Poerwanto, H., Ahimsa-Putra, H.S., Laksono, P.M., Simatupang, L.L., Mulyadi., Kasniyah, N., Kutanegara, P.M., Semedi, P., Setiadi., Sairin, S., Gandarsih, T. 2006. Esei-Esei Antropologi – Teori, Metodelogi dan Etnografi. Yogyakarta : Kepel Press.
Yuliadi, Gunawan. 2005. Persepsi Pemakai Jalan Tentang Iklan di Jalan Raya Kota Jogjakarta. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar