Selasa, 11 November 2014

Hunting dan Difoto Ilang Nyawane


"Hunting dan Difoto Ilang Nyawane" tantangan foto BW dari Ichsan Rahmanto di hari kedua mencoba bercerita sedikit tentang logika yang terbentuk dalam ranah kognitif fotografer melalui metafora ”hunting” tentu dapat diasumsikan sebagai berikut: 1. Fotografer adalah pemburu (hunter), 2. Kamera adalah senjata (weapon or gun) 3. Subjek foto adalah hewan buruan (wild animal). Hal ini memicu pertanyaan yang muncul berikutnya, jika subjek foto diibaratkan dalam world view fotografer sebagai hewan buruan (wild animal) dan fotografer adalah sebagai pemburu (hunter) dengan kameranya sebagai senjata (weapon or gun), apakah dalam proses berfotografi subjek foto ”dibunuh”? Apakah muncul proses dehumanisasi pada subjek foto oleh fotografer sehingga metafora ”hunting” menjadi metafora yang tepat?

Lalu “Difoto ilang nyawane” merupakan sebuah kalimat unik yang diam-diam merupakan wujud resistensi masyarakat Jawa dalam melawan proses dehumanisasi yang “dilakukan” fotografi. Pada tahun-tahun awal masuknya fotografi di Indonesia, ilmu fotografi beserta segala perlengkapannya hampir semuanya bukan milik pribumi. Rata-rata fotografer kala itu adalah orang asing yang mempunyai label sebagai “londo”, “kompeni” yang berstereotipe sebagai penjajah. Saat fotografer menghayati proses berfotografi sebagai “hunting”, masyarakat Jawa mengibaratkan proses berfotografi sebagai sebuah pembunuhan—ilang nyawane. Bisa jadi “Difoto ilang nyawane” merupakan metafora tandingan yang merepresentasikan cara pandang masyarakat Jawa yang unik terhadap fotografi. Kemunculan “difoto ilang nyawane” sebagai metafora tandingan menunjukkan bahwa subjek foto pada hakekatnya adalah tetap menjadi subjek. Bukan sebuah objek yang diam dan tidak punya otoritas apa-apa.
Kedua metafora ini muncul dalam kehidupan masyarakat sebagai sebuah proses dialektika yang berkaitan dan berhubungan satu sama lain. Cara pandang fotografer dan subjek foto terhadap fotografi dalam konteks masyarakat Jawa menunjukkan penghayatan masing-masing pihak yang tercermin dalam metafora “hunting” dan “difoto ilang nyawane”. Metafora bukan sesuatu yang sekedar gaya bahasa dan perkara remeh-temeh. Mempelajari metafora adalah proses memahami macam-macam sudut pandang dan pemikiran masyarakat dalam suatu konteks kebudayaan tertentu dengan lebih dalam.

"Hunting dan Difoto Ilang Nyawane", Pameran Kewalik, Bentara Budaya, Yogyakarta © 2014 Mas Agung Wiis Yudha Baskoro; All Rights Reserved

1 komentar:

  1. Saya sendiri juga masih belum menenukan padanan kata yang pas sebagai pengganti istilah "hunting", hahaha. Mungkin karena kita terbiasa dengan istilah fotografi dalam bahasa asing ya?

    Pernah suatu ketika saya ijin "hunting" ke orang rumah, bilangnya "mau keluar karena mau motret". Pulang agak malem dan ditanyain, "kamu ke mana? motret doang kok lama?". Beda kalau ijinnya bilang "mau hunting foto" karena mesti dimaklumi kalau pulang malem, hehehe.

    BalasHapus