Melukis di tembok. Senyuman di awal
Dari Semingkir
Menuju ahli pikir
Di atas coak. Kendaraan dengan joki paling hebat.
Dari Bentang menuju Tambi
Susu jahe hangat
Foto-foto
Yang lalu biarlah berlalu
Boneka beruang
Kitab, buku. Itu penerangan.
Setengah perjalanan dari Bentang ke Watukumpul. Bertemu air adalah sumber kehidupan.
Menyeberangi kali Lumeneng yang tak 'meneng'
Pasar-an Watukumpul
Ulang tahun Gita asololley
Anak Sungai
Gregorius Dhamang, sebuah babi sebuah kenyataan
Boe & Duroh?
Nino jongkok
Kopi pahit kopi pahit
Api itu penerang di saat itu
Jagung kering, kering semua, semua kering
1,5 juta perminggu
dibohongi satu kilometer
Menunggu waktu Jogja kembali. Senyuman di akhir
Melakukan
segala sesuatu untuk yang pertama kali pasti selalu mendapat kesan yang
mendalam. Ibarat pepatah kata yang terucap pertama kali adalah yang paling
jujur, dengan pepatah itulah artikel ini ditulis.
TPL
adalah kegiatan yang tentunya sudah tidak asing lagi untuk seorang akademisi
antropologi. Kegiatan ini dimaksudkan agar kita sebagai pembelajar antropologi
lebih memahami kebudayaan dari berbagai masyarakat dan lebih tajam dalam
melihat konteks. Dengan turun ke lapangan
selama beberapa hari, minggu bahkan bulan, membaur dengan masyarakat dan tidak
semata-mata datang meneliti dan mencari data, kita diharapkan bisa menjadi
antropolog yang kompeten di dunia dewasa ini.
Watukumpul
dan sekitarnya adalah lokasi TPL yang pertama kali saya datangi. Desa yang
terletak di perbatasan Pemalang – Pekalongan ini adalah desa yang cukup baik
untuk diteliti karena dusun-dusun yang mempunyai keadaan geografis serta relief
yang beragam dari di atas bukit sampai dekat sungai dan bermacam-macam profesi yang ditemui di sini bisa memberikan banyak
bahan-bahan yang menarik untuk diteliti.
Selama
di Watukumpul saya tinggal di rumah seorang mantri kehutanan desa. Sebagai
penjaga hutan beliau tentu banyak bercerita tentang hutan. Watukumpul adalah
desa yang dikelilingi hutan yang luas. Hutan yang luas dimanfaatkan untuk
menanam pohon mahoni dan glagah. Oleh karena itu desa ini terkenal dengan
produksi sapu glagahnya.
Dibalik
sulitnya sarana dan prasarana, keterjangkauan, pemadaman listrik setiap sore
sampai malam hari, sampai masalah air bersih, ada hal yang menurut saya
berkesan selama di Watukumpul. Yaitu adalah
bahasanya. Bahasa yang digunakan di daerah Watukumpul adalah bahasa ‘ngapak’
khas Banyumasan. Bahasa yang hampir sama dipakai oleh orang-orang di daerah
Kebumen, Tegal dan Cilacap. Secara
dialek bahasa ngapak di Watukumpul terdengar lebih kasar dari bahasa ngapak di
Kebumen. Perbedaan dari beberapa katapun saya jumpai dalam beberapa percakapan.
Dari percakapan inilah saya mengetahui bahwa bahasa ngapak di Watukumpul ini
seperti menjadi penghilang dinding pembatas antara orang yang lebih tua dengan
anak-anak. Mereka seperti membaur menjadi sebaya jika sudah bercakap-cakap
secara intens. Berbeda dengan bahasa ngapak di Kebumen yang masih ada
penghalusan dibeberapa bagian katanya jika kita melakukan percakapan dengan
orang yang lebih tua atau dituakan.
Bahasa yang disinyalir mulai ditinggalkan penggunanya karena
stereotypenya ini malah menjadi bahasa gaul sehari-hari di Watukumpul. Hal
inilah yang memberikan kesan pada saya bahwa bahasa ini ternyata masih ada
penggunanya dan tidak mulai ditinggalkan.
Selain
bahasa. Hal yang memberikan kesan adalah dalam cara mereka mendapatkan sepeda
motor dengan sangat mudah dan murah. Seorang yang ingin membeli sepeda motor
hanya perlu mengeluarkan uang sebesar dua juta rupiah sampai tiga juta rupiah.
Dengan sejumlah uang tersebut dia sudah bisa menikmati sepeda motor baru yang
dia inginkan. Tentu saja motor tersebut bukan motor yang dilengkapi dengan
surat-suratnya, tetapi hanyalah motor dengan STNK saja. Hal ini termasuk
tindakan kriminal pengaruh negatif dari kota.
Sebagai
antropolog muda yang baru pertama kali mengikuti TPL. Bisa dibilang TPL kali
ini cukup menyenangkan dan berkesan. Dari awal perjalanan sampai pulang secara
keseluruhan merupakan perjalanan yang pantas dikenang. Beberapa contoh dari pengalaman
saya di atas jika dikaji lebih lanjut tentunya akan menjadi bahan penelitian
dan berpotensi menjadi pengetahuan baru. TPL ini adalah awal perjalanan. Setiap
perjalanan pasti mempunyai kesan,
Yang lain biarlah menjadi dokumentasi pikiran pribadiku sendiri. Perjalanan itu bersifat pribadi, meskipun kita berjalan bersama. Perjalananmu bukanlah perjalananku (Paul
Theorux).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar