Jumat, 03 Februari 2012

Watukumpul

Melukis di tembok. Senyuman di awal

Dari Semingkir

Menuju ahli pikir

Di atas coak. Kendaraan dengan joki paling hebat.


Dari Bentang menuju Tambi

Susu jahe hangat

Foto-foto

Yang lalu biarlah berlalu

Boneka beruang

Kitab, buku. Itu penerangan.

Setengah perjalanan dari Bentang ke Watukumpul. Bertemu air adalah sumber kehidupan.


Menyeberangi kali Lumeneng yang tak 'meneng'

Pasar-an Watukumpul

Ulang tahun Gita asololley

Anak Sungai

Gregorius Dhamang, sebuah babi sebuah kenyataan

Boe & Duroh?


Nino jongkok

Kopi pahit kopi pahit

Api itu penerang di saat itu

Jagung kering, kering semua, semua kering

1,5 juta perminggu

dibohongi satu kilometer

Menunggu waktu Jogja kembali. Senyuman di akhir

Melakukan segala sesuatu untuk yang pertama kali pasti selalu mendapat kesan yang mendalam. Ibarat pepatah kata yang terucap pertama kali adalah yang paling jujur, dengan pepatah itulah artikel ini ditulis.
TPL adalah kegiatan yang tentunya sudah tidak asing lagi untuk seorang akademisi antropologi. Kegiatan ini dimaksudkan agar kita sebagai pembelajar antropologi lebih memahami kebudayaan dari berbagai masyarakat dan lebih tajam dalam melihat konteks.  Dengan turun ke lapangan selama beberapa hari, minggu bahkan bulan, membaur dengan masyarakat dan tidak semata-mata datang meneliti dan mencari data, kita diharapkan bisa menjadi antropolog yang kompeten di dunia dewasa ini.
Watukumpul dan sekitarnya adalah lokasi TPL yang pertama kali saya datangi. Desa yang terletak di perbatasan Pemalang – Pekalongan ini adalah desa yang cukup baik untuk diteliti karena dusun-dusun yang mempunyai keadaan geografis serta relief yang beragam dari di atas bukit sampai dekat sungai  dan bermacam-macam profesi  yang ditemui di sini bisa memberikan banyak bahan-bahan yang menarik untuk diteliti.  
Selama di Watukumpul saya tinggal di rumah seorang mantri kehutanan desa. Sebagai penjaga hutan beliau tentu banyak bercerita tentang hutan. Watukumpul adalah desa yang dikelilingi hutan yang luas. Hutan yang luas dimanfaatkan untuk menanam pohon mahoni dan glagah. Oleh karena itu desa ini terkenal dengan produksi sapu glagahnya.
Dibalik sulitnya sarana dan prasarana, keterjangkauan, pemadaman listrik setiap sore sampai malam hari, sampai masalah air bersih, ada hal yang menurut saya berkesan selama di Watukumpul.  Yaitu adalah bahasanya. Bahasa yang digunakan di daerah Watukumpul adalah bahasa ‘ngapak’ khas Banyumasan. Bahasa yang hampir sama dipakai oleh orang-orang di daerah Kebumen, Tegal  dan Cilacap. Secara dialek bahasa ngapak di Watukumpul terdengar lebih kasar dari bahasa ngapak di Kebumen. Perbedaan dari beberapa katapun saya jumpai dalam beberapa percakapan. Dari percakapan inilah saya mengetahui bahwa bahasa ngapak di Watukumpul ini seperti menjadi penghilang dinding pembatas antara orang yang lebih tua dengan anak-anak. Mereka seperti membaur menjadi sebaya jika sudah bercakap-cakap secara intens. Berbeda dengan bahasa ngapak di Kebumen yang masih ada penghalusan dibeberapa bagian katanya jika kita melakukan percakapan dengan orang yang lebih tua atau dituakan.  Bahasa yang disinyalir mulai ditinggalkan penggunanya karena stereotypenya ini malah menjadi bahasa gaul sehari-hari di Watukumpul. Hal inilah yang memberikan kesan pada saya bahwa bahasa ini ternyata masih ada penggunanya dan tidak mulai ditinggalkan.
Selain bahasa. Hal yang memberikan kesan adalah dalam cara mereka mendapatkan sepeda motor dengan sangat mudah dan murah. Seorang yang ingin membeli sepeda motor hanya perlu mengeluarkan uang sebesar dua juta rupiah sampai tiga juta rupiah. Dengan sejumlah uang tersebut dia sudah bisa menikmati sepeda motor baru yang dia inginkan. Tentu saja motor tersebut bukan motor yang dilengkapi dengan surat-suratnya, tetapi hanyalah motor dengan STNK saja. Hal ini termasuk tindakan kriminal pengaruh negatif dari kota.
Sebagai antropolog muda yang baru pertama kali mengikuti TPL. Bisa dibilang TPL kali ini cukup menyenangkan dan berkesan. Dari awal perjalanan sampai pulang secara keseluruhan merupakan perjalanan yang pantas dikenang. Beberapa contoh dari pengalaman saya di atas jika dikaji lebih lanjut tentunya akan menjadi bahan penelitian dan berpotensi menjadi pengetahuan baru. TPL ini adalah awal perjalanan. Setiap perjalanan pasti mempunyai kesan,  Yang lain biarlah menjadi dokumentasi pikiran pribadiku sendiri. Perjalanan itu bersifat pribadi, meskipun kita berjalan bersama. Perjalananmu bukanlah perjalananku (Paul Theorux).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar