Eri Rama Putra - "You Need More Followers, We Need More Social"
Benny Widyo & Christian Dwiky Sirait - "Same Time, Some Feed"
Afiful Wijaya, Anisa Novi A, Ayasyoyon - "Pose, Click, Repeat"
Reza Ali - "Kevin Systrom Photo Album"
Gilang Putrahadi & Farah Alifia Azzahra - "Soundpict"
Fajar Riyanto & Vregina Diaz Magdalena - "Katanya, Kata-Kata"
Muhamad Erlangga Fauzan - "Yang Tidak Menarik dan Tidak Tampil"
Della Yulia Paramita & Gayatri Surya - "Man of This Era"
Tulisan saya kali ini bukan akan mendongeng tentang pameran atau menjelaskan isi dari masing-masing karya yang potretnya saya hadirkan di atas. Ini tidak lebih daripada curahan isi kepala tentang instagram yang saat ini ternyata sudah semakin serius, tidak bercanda dan tidak main-main.Terlalu serius untuk sebuah aplikasi foto yang mengunggah foto seekor anjing dengan kaki pemiliknya yang bersandal jepit sebagai foto unggahan pertamanya.
Sejak aplikasi ini muncul dan menjadi wacana besar pada tahun 2010, sebagai orang yang saat itu sedang belajar ilmu fotografi, muncul rasa takut dan khawatir pada diri saya. Tentu rasa takut terhadap masa depan saya sebagai fotografer yang saat itu sedang masuk dan belajar pada tahap awal tentang ilmu-ilmu fotografi digital yang juga masih konvensional dalam beberapa hal seperti harus pintar teknik fotografi seperti membaca cahaya, memikirkan ukuran cetak, kurasi warna, mengadakan pameran untuk dapat diapresiasi secara langsung oleh fotografer lain, mengumpulkan beberapa foto satu tema dalam album atau portfolio dll.
Instagram dapat dikatakan menjadi momok yang paradoks yaitu yang dapat membangun sekaligus menghancurkan. Instagram secara tidak langsung hadir melakukan beberapa intervensi seperti menyederhanakan konsep galeri foto dan ruang pamer dan menyederhanakan syarat atau indikator foto yang baik/bagus. Secara kasar dapat dikatakan bahwa melalui Instagram semua orang dapat menjadi fotografer tanpa peduli teknik fotografi dan wacana seputar dunia fotografi.
Feed di instagram pun seolah telah menjadi ruang pameran. Terbukti feed-feed itu memang sengaja diatur sedemikian rupa agar terlihat rapi dan menarik bagi pengunjungnya. Beberapa akun di Instagram muncul sebagai akun-akun kurator yang memang memposisikan akunnya sebagai sebuah galeri foto. Banyak akun berlomba-lomba agar fotonya dapat lolos kurasi dan dapat diregram untuk masuk ke akun kurator tersebut. Sungguh sangat serius sekali.
Fotografer yang dapat beradaptasi dengan permainan citra Instagram dapat dikatakan akan mampu bertahan hidup. Saat ini foto yang bagus saja tidak cukup, kita butuh "nge-hits" di Instagram untuk sekedar "dianggap" profesional. Karena pada akhirnya anggapan inilah yang dibutuhkan fotografer agar dapurnya terus mengepul bukan? Indikator keprofesionallan bisa dikatakan telah sedikit bergeser bukan tentang teknik, portfolio pameran, jam terbang, afiliasi fotografer lain, menang lomba foto bergengsi dll namun hanya jumlah followers. Foto yang diupload ke Instagram hanya menjadi fasilitas untuk masuk ke dalam sebuah dunia penuh tagar yang sarat dengan permainan citra. Selanjutnya followers lah yang menentukan siapa diri ini.
Aplikasi yang pada awalnya hanya berawal dari ide Kevin Systrom untuk membagi foto-foto yang ada pada albumnya ternyata tidak disangka-sangka dapat mengubah dunia fotografi secara signifikan. Pada dasarnya hadapilah rasa takut itu dengan terus berkarya. Entah nantinya akan muncul fotografer Instagram profesional, Instagrafer dll. Jadikan fenomena ini sebagai harmoni dalam konflik. Fotografi butuh itu agar tetap hidup. Jika kita menghidupkan fotografi maka fotografi akan menghidupkan kita. Ia tidak pernah mengkhianati.
"Connect With Known, Uknown, and Others" Mes56, Yogyakarta © 2015 Mas Agung Wilis Yudha Baskoro ; All Rights Reserved
Tidak ada komentar:
Posting Komentar