Sabtu, 14 Desember 2013

Memahami Dari Dua Sudut Pandang


Pada awalnya banyak pihak masih belum terlalu terusik ketika para dokter baru mengambil sikap sebatas menggelar aksi demo turun ke jalan untuk menolak kriminalisasi dan mencari dukungan atas kasus rekan seprofesinya. Tetapi pada saat para dokter mulai mengeluarkan ultimatum untuk mogok kerja alias mogok mengobati pasien sebagai bentuk solidaritas kepada rekannya, berbagai pihak mulai angkat bicara, ada yang mengatakan bahwa aksi ini dinilai terlalu ekstrim tetapi ada juga yang mengatakan aksi ini perlu supaya masyarakat tahu rasa. Tindakan para dokter yang mogok ini alhasil menuai banyak sekali pro dan kontra.
Tak heran, berkembang banyak sekali diskusi dan perdebatan di berbagai forum terkait masalah dokter vs pasien ini. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena ini memang perlu ditelaah lebih dalam. Tetapi telaah yang dilakukan bukan pada masalah duduk perkara kasusnya atau siapa benar siapa salah menurut ranah kajian hukum atau ilmu kedokteran seperti yang banyak diperbincangkan tapi lebih ke ranah refleksi diri. Kasus ini sangat pas untuk media refleksi mengingat ketidakmampuan seorang individu untuk hidup sendiri. Pada dasarnya semua pihak saling membutuhkan, maka sudah seharusnya kerukunan dalam masyarakat berbangsa dan bernegara dengan kultur komunal yang sudah mendarah daging ini dibina kembali. Melalui kaca mata sosial-budaya lewat sudut pandang yang reflektif, pertanyaan besar yang muncul adalah ketika dokter ingin masyarakat membayangkan bagaimana rasanya hidup satu hari tanpa dokter? Lalu bagaimana pula jika masyarakat ingin dokter merasakan rasanya bagaimana satu hari tanpa masyarakat? 
Masyarakat awam sudah tentu tidak mengerti tentang ilmu-ilmu kedokteran terkait kode etik kedokteran, aturan-aturan medis, teknik-teknik pengobatan dan pertolongan atau indikator gejala pasca-pengobatan disebut efek samping atau mal-pratek. Kesadaran ini sudah sepenuhnya perlu dibangun di kedua pihak. Seorang dokter sebaiknya bisa lebih maklum dan lebih bersabar kepada pihak-pihak pasien yang selalu menuntut atas kesembuhan atau kelancaran pengobatannya. Begitu juga dengan pihak pasien yang notabene awam dengan ilmu-ilmu kedokteran. Sebagai awam sebaiknya juga tidak gegabah dalam membuat klaim bahwa kinerja dokter itu tidak benar. Memang tidak bisa dipungkiri perasaan was-was, cemas dan gelisah yang melanda saat melihat keluarga, saudara atau kolega menderita sakit yang tak kunjung ditangani dengan baik. Tetapi mari coba lihat dari sudut pandang dokter, pasti selalu ada pertimbangan-pertimbangan dan indikator-indikator medis tertentu yang diketahui dokter terkait apakah penanganan terbaik yang akan dilakukan untuk pasiennya. Walaupun kadang terdengar kabar bahwa ada dokter yang tidak baik tetap percayalah bahwa kebanyakkan dokter selalu mempunyai niat yang tulus untuk menolong pasiennya.
Refleksi yang dilakukan tidak cukup sampai di situ. Coba bayangkan jika masyarakat melakukan aksi balasan berupa bentuk solidaritas supaya dokter merasakan satu hari tanpa masyarakat. Aksi solidaritas ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada dokter yang melakukan aksi mogok tempo hari. Tentu hal ini menjadi tamparan bagi pihak dokter sendiri.
Imbas buruk yang ditimbulkan dari aksi balasan ini adalah , pertama, munculnya kemungkinan berlarut-larutnya perkara ini. Kedua, secara sarkas bisa dikatakan bahwa dokter tidak bisa makan selama satu hari karena tidak ada pasien yang datang. Bahkan ada guyonan lama era 90’an, dokter selalu berdoa kepada Tuhan agar setiap hari selalu ada orang yang sakit. Ketiga, munculnya penyakit sosial baru yang memperparah ketidakharmonisan hubungan antara dokter dan masyarakat. Poin ketiga merupakan implikasi paling parah dari efek balasan ini. Mengapa? Karena fakta sosial menunjukkan bahwa hubungan yang dibina antara dokter dan pasien adalah salah satu faktor terpenting dalam proses penyembuhan. Pasien terbukti selalu lebih cepat sembuh jika dokter yang menanganinya memberikan sugesti-sugesti baik yang berhubungan dengan kesembuhan. Sugesti-sugesti tersebut lebih cepat masuk ke alam bawah sadar pasien ketika hubungan antara dokter dan pasien berlangsung harmonis. Penelitian yang dilakukan oleh para antropolog menunjukkan bahwa interaksi dokter-perawat, dokter-pasien, perawat-pasien dan pemahaman dokter terhadap sudut pandang pasien terhadap penyakit yang dideritanya sendiri telah banyak menyadarkan para dokter bahwa kesembuhkan pasien juga ditentukan oleh hubungan sosial tidak hanya dicapai melalui ilmu kedokteran saja.
Dalam konteks permasalahan ini, dokter dianggap sebagai pihak yang berpendidikan tinggi dan mempunyai intelektualitas yang baik. Dokter seharusnya bisa kembali kepada hakekat profesinya yaitu “mengobati” bukan justru “membuat luka”. Seharusnya tindakkan yang dilakukan dokter bukanlah tindakan yang memperparah krisis kepercayaan masyarakat kepada dokter seperti turun ke jalan untuk berdemo dan menggelar aksi mogok tetapi justru lebih ke cara-cara “pasif efektif” yang membangkitkan rasa percaya masyarakat kepada dokter, seperti membuat stiker atau kaos bertuliskan dukungan atau solidaritas yang dibagikan kepada setiap pasien di rumah sakit atau memberikan pengobatan gratis yang diberikan kepada setiap pasien yang berobat jika pasien tersebut mau menandatangani petisi wujud dukungan kepada dokter yang terjerat kasus tersebut.
Oleh karena itu jika tindakan yang tepat dapat dilakukan sebenarnya semua pihak bisa bekerjasama untuk menggalang persatuan melawan ketidakadilan. Setelah berefleksi, retorikanya adalah, apakah kita akan lebih percaya pada dukun beranak ketika istri kita hendak melahirkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar