Minggu, 29 Desember 2013

Toleransi Untuk Si Gondrong


Tembok Toleransi adalah sebuah karya instalasi fenomenal yang membuat menginspirasi saya untuk menulis tentang gondrong. Hal kecil yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah fenomena sosial yang diam-diam individu pelakunya mendapat diskriminasi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa model rambut gondrong adalah model rambut yang fenomenal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gondrong adalah gon·drong a panjang karena lama tidak dipangkas (tt rambut orang laki-laki). Batas rambut yang disebut gondrong sendiri didefinisikan oleh banyak orang seperti melebihi telinga, menutup jidat atau sampai ke pundak. Tetapi ada gondrong yang sampai ke pangkal punggung. Gondrong menjadi fenomena yang menarik di Indonesia karena berbagai hal. Pertama,. Kata gondrong sendiri adalah kata yang bersifat maskulin karena hanya disematkan kepada laki-laki yang berambut panjang. Kedua, gondrong selalu identik dengan citra-citra negatif. Banyak stereotype yang melekat pada gondrong. Ketiga, gondrong di Indonesia mempunyai sejarah yang unik karena tidak dapat terlepas dari perkembangan musik rock. Menurut Adam, pelarangan rambut gondrong bukan hanya soal perbedaan persepsi tua-muda, militer-sipil, laki-laki-perempuan bahkan pop atau rock tetapi menyangkut pula masalah praktik kekuasaan dan simbol perlawanan terhadap kekuasaan tersebut. Pada era ’70-an biasanya perampok diberitakan berambut gondrong, tetapi sebaliknya era ’90-an penculik para aktivis dikabarkan berambut cepak. Berangkat dari fakta sosial dan sejarah kemunculannya tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan besar, mengapa gondrong menjadi sangat fenomenal di Indonesia?

Sekilas Sejarah Gondrong
Gondrong mulai menjamur di Indonesia bersamaan dengan mulainya sejarah musik rock di Indonesia pada tahun 1970-an pada era orde baru. Ditandai dengan munculnya band-band rock seperti God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy, Giant Step, Rawe Rontek sampai Bentoel. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Perkembangan musik rock di Indonesia didukung oleh awak media. Salah satunya pada saat itu majalah Aktuil menyematkan istilah musik rock sebagai musik underground karena itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya.
Musik rock dan gondrong sudah seperti dua sisi mata uang. Melekat dan tidak bisa dipisahkan. Musik rock di Indonesia masuk dan berkembang tidak  hanya sebagai sebuah genre. Gondrong lahir sebagai bentuk ekspresi ideologis dari pelaku, penikmat, bahkan pengamat musik rock. Kegandrungan Indonesia terhadap musik rock tidak cukup ditunjukkan dengan mengapresiasi musik tersebut dari segi musikalitas. Tetapi reproduksi dan rekonstruksi makna dari citra musik diimplikasi kepada diri salah satunya melalui gondrong sebagai wujud apresiasi terhadap musik rock. Sebagai bentuk reproduksi dan rekonstruksi makna citra yang melekat pada musik rock—keras, gaya yang liar dan ekstrim—ikut melekat pada gondrong.
Ketika citra musik rock diperjelas melalui film besutan sutradara kenamaan Hollywood, Milos Forman. Film berjudul Hair ini sempat menjadi apologia kaum muda Indonesia untuk memelihara rambut gondrong. Polisi menganggap hal ini sebagai tindak penyimpangan. Awal tahun 70-an, disamping  pemberantasan langsung atas rambut gondrong pencitraan buruk terhadapnya pun terus dilakukan lewat media massa, misalnya saja di harian Pos Kota pada tanggal 05 Oktober 1973 dilansir berita berjudul “7 Pemuda Gondrong Merampok Biskota”, juga pada tanggal 11 Oktober 1973 di harian yang sama terbit berita berjudul “Waktu Mabuk Di Pabrik Peti Mati : 6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita”, kemudian di harian Angkatan Bersenjata pada tanggal 29 September 1973 menerbitkan berita berjudul “5 Pemuda Gondrong  Memeras Pakai Ancaman”, selanjutnya pada harian yang sama tanggal 18 Oktober 1973 terbit lagi berita tentang kecelakaan yang berjudul “Disambar Si Gondrong”, dan masih banyak lagi bukti-bukti pencitraaan gondrong melalui berita, baik cetak maupun elektronik.
Bandung menjadi kota yang sangat memerangi rambut gondrong. Rambut gondrong sempat menjadi permasalahan yang cukup serius. Mereka yang berambut gondrong tidak diperbolehkan mengurus surat identitas (SIM, KTP) maupun surat bebas G30S/PKI dari pihak kepolisian. Bahkan salah seorang mahasiswa ITB, Rene Coenraad, harus mati tertembak polisi ketika bentrok dengan taruna Akademi Kepolisian dan Brimob pada 6 Oktober 1970.
Pada tahun 1980-an perkembangan musik rock semakin hebat. Lantaran sub-sub genre musik rock yaitu thrash metal, heavy metal dan hardrock juga ikut mulai berkembang. Gondrong tetap hadir sebagai salah satu tonggak identitas penting dari pelaku, penikmat dan pengamat musik rock era 80an. Euphoria muncul mazhab-mazhab musik rock baru ini ditunjukkan oleh penampilan-penampilan musisinya  yang sangat tidak wajar—konteks musisi Indonesia tahun 80an. Headbanger muncul di Indonesia pada era 80an ini karena headbanger melalui rambut gondrongnya adalah bentuk menunjukkan eksistensi antar geng fans grup musik tertentu.
Era 1990an hingga 2000 adalah zamannya indie musik. Musik rock pun merambah ke ranah independent. Musisi-musisi indie, memutuskan untuk berada di jalur indie karena tidak rela kreatifitas mereka dibelelenggu oleh label besar yang biasanya berorientasi pada selera pasar. Salah satu ikon musik rock yang pertama berada di jalur indie adalah PAS Band. Sebagai band yang ikonik pada awal kemunculannya PAS Band juga menjadikan gondrong sebagai gaya rambut personil-personilnya.

Mendobrak Persembunyian
Selain lewat musik, pelaku, penikmat dan pengamat musik rock kala itu juga menggunakan model rambut gondrong mereka sebagai sarana komunikasi. Model rambut mempunyai suatu fungsi yang komunikatif. Meminjam istilah Barnard yang mengatakan bahwa busana, kostum, dan dandanan adalah bentuk komunikasi artifaktual. Komunikasi artifaktual didefinisikan sebagai komunikaksi yang berlangsung melalui pakaian dan penataan perbagai artefak, misalnya pakaian, dandanan, barang perhiasan. Fashion, pakaian dan dandanan dapat menyampaikan komunikasi, pesan-pesan nonverbal.
Komunikasi nonverbal merupakan pesan akan tubuh manusia. Bagian tubuh manusia dapat diibaratkan sebagai kulit sosio-kultural manusia (Nordholt, 1997). Tubuh merupakan paradox yang dapat menghubungkan dan memisahkan manusia dengan dunia sosialnya. Sebagai lidah kedua, tubuh dapat menyuarakan ekspresi identitas diri. Melalui tubuh manusia dapat mendefinisikan (memberi batas-batas tentang identitasnya) dan menciptakan citra-citra tentang diri. Gondrong sebagai sebuah model rambut termasuk dalam kategori dandanan. Oleh karena itu ketika seorang berambut gondrong dapat diartikan bahwa ia sedang melakukan komunikasi nonverbal terhadap orang lain disekitarnya.
Sebagai sebuah media ekspresi rambut gondrong merupakan cara seorang untuk lepas dari suatu kekangan tertentu. Ketidaksopanan pada rambut gondrong menjadi bias karena sebenarnya rambut gondrong adalah symbol universal dari kebebasan kultural. Rambut gondrong secara simbolis mengikat suatu komunitas dan menunjukkan suatu kesepakatan sosial. Secara tidak langsung dengan  berambut gondrong seseorang dapat diterima dan memperkokoh suatu ikatan sosial.  Rambut Gondrong dan Ekspresi Perjuangan. Perjuangan kebangkitan nasional adalah babak pembuka dalam mempropagandaakan hindia belanda untuk keluar dari cengkraman kolonialisme yang menindas. Menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Perjuangan itu mencapai klimaksnya pada masa perjuangan kemerdekaan dan “Revolusi belum usai” yang diteriakkan oleh Bung Karno. Terdapat hal menarik dalam masa perjuangan revolusi itu, terkait pada persoalan rambut para pemuda dan mahasiswa yang ketika itu  adalah pelopor perjuangan, yang kemudian hari ini diteladani oleh pemuda dan mahasiswa yang berkesadaran bahwa estafet perjuangan terdapat di pundaknya, meskipun tak semua yang berambut gondrong menyadari hal demikian. Ali Sastromidjojo (1974 :198) dalam otobiografinya mengatakan bahwa pemuda dan mahasiswa berambut gondrong di Yogyakarta pada awal 1946 merupakan kekuatan revolusi, “...terasa sekali sebagai kota yang hidup di tengah-tengah pergolakan revolusi. Banyak pemuda-pemuda berambut gondrong dan bersenjata masih berkeliaran. Pada umumnya pakaiannya compang-camping. Sikap dan tingkah laku mereka masih seperti pejuang-pejuang yang baru saja menang perang. Merasa jaya, kuat dan gagah berani menghadapi musuh atau siapapun yang menentang negara dan bangsanya, atau … pribadinya sendiri dan golongan atau kelompoknya. Pemuda-pemuda berambut gondrong, pejuang-pejuang bersenjata yang tak terkenal namanya, dan dengan tingkah lakunya yang serba serampangan inilah yang merupakan kekuatan revolusi kita.”.
Dari sudut pandang agama. Umat kritiani memberikan imaji tentang Yesus sebagai pria berambut gondrong. Lalu dalam Islam, Nabi Muhammad juga dalam Al-Quran diceritakan mempunyai rambut yang gondrong. Di dalam keduanya tersimpan mahzab-mahzab perjuangan. Komunikasi non verbal yang dibentuk oleh rambut gondrong hadir dalam mengekspresikan pengobaran api perjuangan dalam melawan ketidakadilan dan penindasan, termasuk di dalamnya pengebirian hak-hak individual dalam memilih selera model rambut.

Terbangunnya Stereotype.
            Indonesia zaman orde baru tubuh berada pada ranah tradisional di mana tubuh masih berpegang pada nilai-nilai yang bersifat non-privacy lebih bersifat kolektif, milik komunal dan bukan milik individu.  Sejarah pelarangan rambut gondrong adalah sejarah praktik kekuasaan para diktator untuk mempertahankan kekuasaannya tanpa protes dan tanpa rongrongan dari rakyat yang muak atas penindasannya. Rezim kolonial telah berhasil melakukan itu dan setelah merdeka diteladani secara sempurna oleh rezim Orde Baru. Akhir periode pertama pemerintahan Orba, tepatnya pada tahun 1970-an di bawah instruksi Soeharto melalui Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan & Ketertiban dibentuk lembaga yang bernama Badan Pemberantasan Rambut Gondrong (BAKORPERAGON) yang berfungsi untuk memberantas seluruh pemuda dan mahasiswa yang berambut gondrong (Arya Wiratma : 2010). Dibantu dengan TNI yang bersenjatakan gunting mereka mencari seluruh pemuda dan mahasiswa yang berambut gondrong untuk dicukur paksa, mereka turun ke jalan, masuk ke dalam kampus, sekolah, dan menyisir tempat-tempat yang diketahui banyak pemuda dan mahasiswa di dalamnya. Alasanya, tidak lain dari persoalan yang menganggap bahwa rambut gondrong adalah tidak rapi, tidak sopan, tidak sesuai dengan budaya bangsa, tidak mencerminkan sikap peduli (baca: apatis-asosial) dan masih banyak lagi tidak tidak mereka yang sangat tidak rasional. Protes-protes dan petisi dari mahasiswa pun bermunculan salah satunya yang terbit pada harian Indonesia Raya, 11 September 1973, pada laman tajuk rencana dengan judul “Buat Apa Ribut-Ribut Soal Rambut Gondrong”. Oleh karena itu tidak heran jika terjadi peristiwa tertembaknya seorang mahasiswa ITB Rene Coenraad yang bentrok dengan polisi karena melakukan protes terkait diskriminasi pemerintah terhadap orang-orang yang berambut gondrong.
Kognitif masyarakat kala itu menganggap konstruksi tubuh ideal adalah apa yang dibentuk oleh Negara sehingga gondrong merupakan ketidaklaziman yang pada struktur masyarakat dinilai mengganggu. Kala itu negara dirasa perlu turun tangan untuk memberantas individu yang berambut gondrong karena Negara menerapkan bio-politic seperti yang dikatakan Foucault bahwa, “the body is the last arenas open to control”. Dilarangnya gondrong pada masa ini membuktikan bahwa tubuh merupakan cerminan kekuatan sebuah rezim. Anthony Synnott mengatakan konflik antara hak-hak individu dan Negara mengenai tubuh seperti ini secara khusus Nampak jelas di dalam kontroveri…ikut campur tangan di dalam tubuh.
Seiring berkembangnya waktu globalisasi menghadirkan modernisasi. Mau tidak mau Indonesia juga ikut terkena dampaknya. Simmel mengatakann bahwa modernitas menumbuhkan transformasi generalitas menjadi individualitas. Tubuh di Indonesia pun mengalami disposisi dari ranah tradisional ke ranah modern yang lebih berada pada nilai-nilai individual dan mengenal privacy atau dengan kata lain, nilai-nilai kolektif runtuh. Sepakat dengan Irwan Abdullah yang mengatakan bahwa proses globalisasi telah melahirkan diferensiasi yang meluas yang tampak dari proses pembentukan gaya hidup dan identitas. Kognitif masyarakat pun mengalami pergeseran. Nilai-nilai general bergerser menjadi nilai-nilai yang konteksnya lebih khusus.
Gondrong di Indonesia perlahan menjadi hal yang tidak lagi dilarang secara terang-terangan.Isu-isu modernitas menghadirkan paradigma tubuh individual di mana tubuh bukanlah sesuatu yang secara kodrati terbentuk begitu saja. Paradigma ini mempunyai pikiran bahwa tubuh mempunyai otoritas individual. Otoritas penuh atas tubuh berada pada kehidupan manusia. Di antara kebingungan ini pada tahun-tahun 1980an menjadi era liminalitas. Gondrong menjadi suatu identitas ritual atas tubuh. Gondrong disematkan nilai-nilai sacral. Gondrong identic dengan kebebasan, kejantanan, luapan ekspresi jiwa dan seni, pecinta alam sejati, ketangguhan dan ketegaran, keintelektualan seseorang bahkan sampai tingkat keprihatinan seseorang atas penghayatannya kepada sesuatu.
Pada masa-masa ini melihat lewat sejarah musik rock, mulai muncul geng-geng atau komunitas-komunitas yang terbentuk sebagai “fanbase” dari suatu grup musik tertentu. Menurut Irwan Abdullah, komunitas secara baku menunjuk pada suatu sistem sosial dengan suatu pola hubungan yang dibedakan secara langsung dengan sistem sosial yang lebih formal. Salah satu sifat kunci komunitas adalah adanya kesadaran tentang perbedaan dengan yang lain. Sifat komunitas inilah yang pada akhirnya menjadi pemicu konflik antar komunitas. Tidak jarang pada era 1980an konser musik rock selalu diwarnai oleh tawuran antar fanbase musik rock yang melibatkan anak-anak gondrong.
Lalu sejalan dengan sejarah musik rock, sejarah orde baru juga telah mengkonstruksi bahwa rambut gondrong adalah benar-benar buruk dan harus Mereka itulah yang termasuk sebagai korban kuasa stigma dan represi ingatan (Tri Guntur : 2009). Konstruksi buruk tentang gondrong diciptakan oleh media-media zaman orde baru. Banyak berita-berita pada tahun-tahun 1970an memberikan banyak sekali pencitraan buruk tentang gondrong. Sejarah tersebut terbukti kebenarannya ketika di berita-berita pengalihan isu telah berhasil memberikan pencitraan atau kesan negatif terhadap rambut gondrong, dan secara terus menerus modus pencitraan itu dilakukan hingga akhirnya hadir dalam ingatan orang-orang bahwa rambut gondrong telah identik dengan “Pemerkosa”, “Pemeras”, “Perampok”, “Perampas” dan “Pemabuk”serta seluruh kata-kata yang erat kaitannya dengan tindak kriminal dan mengganggu ketentraman umum, diperkuat lagi oleh hasil penelitian yang dilakukan Aria W. Yudhistira yang berkesimpulan bahwa jarang bahkan tidak pernah ditemukan dalam pemberitaan media tentang pelaku kriminal yang  berciri-ciri botak, gundul dan cepak (tentunya ini dilakukan sebagai upaya menghindari pelecehan citra ABRI dan penguasa lainnya), seolah perbandingan tersebut memberi kesan suci pada yang botak, gundul dan cepak.
Pribadi yang memiliki rambut gondrong mulai dikenal sebagai preman, jorok dan tidak bersih, orang yang sangar dan susah diatur. Gondrong menjadi ciri tubuh yang ofensif. Seorang dengan rambut yang tumbuh di luar batas wajar atau dengan kata lain di luar kendali membuat masyarakat mulai bernalogi apapun yang berada di luar kendali selalu merupakan ancaman. Kaum subordinat yang di luar kendali dinilai dapat merusak keharmonisan tatanan sosial maupun kultural. Ekspresi-ekspresi kaum gondrong dianggap sebagai rapuhnya control sosial. Dengan memiliki rambut gondrong, seseorang dianggap sedang atau ingin mendapatkan kebebasan dari control sosial.
Gondrong mengalami pergeseran makna. Tanda-tanda pergerseran makna ini dapat dilihat dari stereotype yang akhirnya muncul dan terepresi sampai saat ini. Dalam ranah kognitif masyarakat mulai terbentuk suatu hakikat interpretan tanda-tanda yang menurut Peirce dibedakan menjadi rema, tanda disen dan argument. Pada masyarakat Indonesia, gondrong telah mengalami trikotomi ketiga rema, disen dan argumen ini. Rema adalah suatu tanda kemungkinan kualitatif yakni tanda apapun yang tidak betul dan tidak salah (Budiman, 2011). Kedua, tanda disen adalah tanda eksistensi actual satu tanda factual yang biasanya sebuah proposisi (Budiman, 2011). Gondrong yang disandingkan dengan sebuah sifat tententu pada disen akan membentuk pernyatan betul atau salah, namun belum secara langsung menjelaskan alasan betul atau salah tersebut. Argumen adalah  tanda hukum atau kaidah suatu tanda nalar yang didadasari oleh leading principle yang menyatakan bahwa peralihan premis-premis tertentu kepada kesimpulan tertentu cenderung benar (Budiman, 2011). Jadi ketika terjadi suatu peristiwa negatif yang terjadi dan melibatkan seseorang berambut gondrong silogisme yang terbangun lewat penyatuan ketiga hal tersebut pada seorang individu berambut gondrong adalah semua orang berambut gondrong itu berkelakuan negatif. Si A adalah anak berambut gondrong. Maka argumentasi yang dihasilkan adalah si A itu berkelakuan negatif. Metafora yang lambat laut tercipta antara dua objek terkait tanda-tanda simbolis menjadikan individu berambut gondrong didiskriminasikan.

Kesimpulan dan Refleksi Sebuah Toleransi
Relativisme seharusnya menjadi hal yang sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan dalam bangsa yang multikultur. Pandangan yang berbeda sudah pasti menjadi hal yang biasa ditemua dalam kehidupan. Oleh karena itu ada baiknya sebagai individu tidak memukul rata suatu hal dan terburu memberi stereotype atau pandangan negatif terhadapnya. Pepatah mengatakan, “don’t judge a book by its cover”. Terkadang tidak jarang ditemui orang yang berambut gondrong justru lebih sangat santun dalam berkata, mempunyai daya kreasi seni yang tinggi dan lebih peka terhadap kondisi sosio-kultural masyarakatnya. Coba tengok beberapa orang gondrong maupun yang pernah gondrong seperti Abraham Samad, Ruhut Sitompul, mantan menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo, beberapa seniman besar di Indonesia dan beberapa akademisi-akademisi di sekitar kita dimana mereka adalah orang yang berambut gondrong atau pernah berambut gondrong tapi mampu mendedikasikannya terhadap bangsa dan negara. Sikap relative bukan untuk menjadi bagian dari ruang negosiasi atas berlakunya suatu nilai dan praktik tetapi juga menjadi titik penting bagi perubahan masyarakat secara mendasar di mana makna-makna mengalami pergeseran dari waktu ke waktu (Abdullah, 2010).
Hingga kini, kuasa stigma dan represi ingatan tersebut belum hilang dari kepala orang tua pada umumnya, rambut gondrong masih menjadi momok ketakutan dan kecemasan. Padahal, mereka lupa dengan model rambut dan pakaian Soeharto beserta TNI-nya sebagai pelaku holocaust terkejam di abad 20 yang berhasil membantai manusia Indonesia hingga lebih dari 1000.000 jiwa sebagai syarat memancangkan kursi kekuasaannya. Sudjiwo Tedjo pada salah satu bukunya mengatakan bahwa, “revolusi pemberantasan korupsi itu para cewek ogah punya cowok rambut pendek, para ortu mendambakan menantu gondrong”. Gondrong dianggap sebagai salah satu bentuk ekspresi kebencian atas kemunafikan. Dandanan yang necis dan rambut plontos atau rapi disepakati sebagai bentuk kemunafikan. Gondrong dianggap sebagai symbol universal dan apa adanya. Sebagai suatu fenomena sosio-kutural, gondrong lebih baik dipandang bukan sebagai suatu yang semata-mata diwariskan tetapi sebagai suatu yang berkembang mengikuti di mana gondrong itu ada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar