Masih tentang refleksi pada bangsa sendiri. Pada diri sendiri. Posting sebelumnya telah membahas tentang refleksi yang dijelaskan berbeda dengan bercermin karena refleksi lebih seperti mengorek-ngorek apa yang ada dalam diri. Ranah yang dicapainya lebih dalam dan lebih sampai ke perihal jiwa, rasa, hati dan nurani. Pantulan yang terpancar bukan hanya pantulan kasat mata.
Seniman Biennale Jogja XII Equator #3 masih berhasil membuat pikiran saya tertuju kepada satu kata dari tiga buah kalimat yang menjadi punctum di sudut ruangan pameran Biennale Jogja XII Equator #3 di Taman Budaya Yogyakarta.
Sepandai Tupai Melompat Akhirnya di Petshop
Membaca satu kata ini, pikiran melayang kepada persoalan komodifikasi manusia yang sudah mulai tajam (kembali) tercium baunya. Peradaban modern menjadikan tubuh manusia baik laki-laki maupun perempuan seperti sebuah barang. Fakta sejarah membuktikan bahwa peradaban yang semakin modern mengakibatkan "tubuh" bergeser dari ranah-ranah tradisional dan komunal ke ranah privatisasi. Pada modernisasi tahap ini "tubuh" telah mengetahui konsep malu yang lebih dalam daripada pada era-era sebelumnya. Namun dewasa ini modernisasi telah berlanjut menjadi tahap setelah moderninasi yaitu ditandai dengan munculnya pergeseran "privat" menjadi "otoritas penuh akan tubuh".
Relasi otoritas yang terjadi kepada tubuh tidak hanya terjalin pada dalam diri individu itu sendiri. Tapi otoritas tersebut juga sebenarnya dikuasai oleh otoritas lainnya -- pihak-pihak di luar tubuh (faktor sosial, politik, ekonomi dan budaya. Atau dengan kata lain, otoritas penuh tersebut tidak dapat dikatakan penuh sepenuh-penuhnya karena mau tidak mau, manusia akan membentuk dirinya sebaik-baiknya menurut dirinya tetapi tetap berorientasi pada otoritas pihak di luar tubuh. Karena jika tidak demikian maka tubuh tersebut tidak akan berada pada satu lingkaran yang "ideal" menurut pemegang otoritas di luar tubuh.
Eksploitasi dan komodifikasi manusia adalah isu yang sangat berkaitan dengan, "Sepandai Tupai Melompat Akhirnya di Petshop". Mengapa? Karena penjelasan mengenai tubuh manusia di era setelah modernisasi yang dianggap mempunyai "otoritas penuh akan tubuh" sebenarnya tidak benar-benar mempunyai otoritas. Sebaik-baiknya kita "membentuk" tubuh kita pada akhirnya kita hanya akan berakhir menjadi barang dagangan dan selayaknya barang dagangan, otoritas tertinggi ada pada pasar.
Sepandai Tupai Melompat Akhirnya di Petshop adalah persoalan memanusiakan manusia. Kemanusiaan adalah isu-isu sosial yang seharusnya dilihat dan direfleksikan oleh penyelenggara negara ini. Sudah terbukti bahwa bangsa kita adalah bangsa yang telat kritis.Saat merebaknya pariwisata sebagai lahan pendongkrak ekonomi, setelah budaya ikut dijadikan komoditas, kita baru merasa terusik dan mulailah banyak dilakukan kajian-kajian pariwisata berbasis alam dan budaya. Lalu yang paling akhir yaitu munculnya industri kreatif. Pertanyaannya, Apakah kita sebagai pelaku industri kreatif pada akhirnya juga harus menjual diri kita sendiri untuk menjawab tantangan pasar? Jika tidak, tentu beruntunglah kita yang sudah mulai bijak. Tetapi jika iya, pertanyaan yang muncul adalah mengapa?
Sungguh ironik, sudah jatuh tertimpa tangga dan tidak ada yang menolong, mungkin itu yang bisa menjadi gambaran atas persoalan bangsa ini. Buruh memang korban sekorban korbannya. Tenaganya dan tubuhnya telah menjadi lahan eksploitasi dan komodifikasi. Seksualitas juga buruh dikebiri. Kriteria-kriteria akan tubuh ideal yang cocok untuk bekerja sebenarnya adalah contoh-contoh praktek diskriminasi seksualitas. Sepakat dengan kata Bambang Hudayana pada salah satu kuliahnya yang mengatakan bahwa buruh selalu dikonstruksikan entah bagaimana untuk selalu berada di pihak yang lemah dan tak berdaya (terdominasi) sehingga—dikomodifikasi—kehilangan harkat kemanusiaannya. Apakah bangsa kita sudah kehilangan arah sehingga memilih untuk menjadi komoditas dalam pasar manusia dalam keadaan tanpa daya, tanpa otoritas, tanpa otonomi?
Lalu adakah tupai pandai yang tidak berakhir di petshop?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar